4 Ketentuan Penting dalam Penentuan Hilal Awal Bulan Hijriah

VIVA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) menyetujui ketentuan penentuan awal bulan Hijriah, seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Metode yang digunakan adalah rukyatul hilal yang termasuk ibadah fardhu kifayah. NU juga mendukung penggunaan metode perhitungan, namun hanya sebagai prediksi menurut KH A. Ghazalie Masroeri.

Berikut empat pengaturan yang dilakukan NU dalam menggunakan sistem rukyatul hilal. Gulir ke bawah untuk melihat artikel ini secara lengkap. 1. Jika bulan terbit berada di bawah langit

Jika hilal masih terendam air atau suhunya di bawah 0 derajat, maka rukyah tidak lagi dilakukan fardhu kifayah. Keadaan ini menyebabkan istimal untuk diterapkan, karena bulan sebelumnya penuh 30,2 hari. Jika Hilal sudah terlihat

Apabila hilal dapat dilihat dan memenuhi kriteria imkan rukyah yang dipandu oleh NU, maka dalil perukyat tersebut dapat diterima. Oleh karena itu, bulan sah untuk isbat hanya mempunyai 29 hari, dan keesokan harinya akan dimulai bulan baru.3. Jika Hilal melintasi tanda Imkan Rukyah

Jika hilal melebihi standar imkan rukyah NU, namun tidak terdapat di Indonesia, berlaku istikmal. Walaupun bulan tidak di depan, namun tidak langsung terukyah, melainkan istikmal 4. Jika Hilalnya tinggi

Jika hilal sangat tinggi, tetapi tidak terlihat, hendaknya dilakukan istikmal. Namun jika penerapan istikmal dapat membuat tahun lunar berikutnya hanya menjadi 28 hari, maka istikmal akan dihilangkan meskipun hilal tidak terlihat.

NU menggunakan kriteria imkan rukyah dengan tinggi hilal mar’ie minimal 3 derajat dan perpanjangan hilal haqiqy minimal 6,4 derajat, hal ini berkaitan dengan hak Indonesia.

Melalui penataan tersebut, NU berupaya untuk memandu ibadah dan menentukan awal bulan Hijriah dengan benar dan berdasarkan kaidah astronomi yang diketahui.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *