647 Kecelakan Sepeda Listrik, Pengamat: Perlu Kurikulum Edukasi Anak di Sekolah

VIVA – Kecelakaan yang melibatkan sepeda listrik, terutama yang dikendarai oleh anak-anak, memerlukan perhatian berbagai pihak. Termasuk pendidikan tentang prosedur keselamatan dan penggunaannya.

Hal tersebut diungkapkan Djoko Setijowarno, Peneliti Kurikulum Teknik Sipil Unika Soegiyapranata sekaligus Wakil Presiden Bidang Penguatan dan Pengembangan Wilayah Pusat Perusahaan Transportasi Indonesia (MTI).

“Sebanyak 647 kecelakaan e-bike terjadi pada Januari-Juni 2024 di Indonesia, terutama yang melibatkan anak-anak,” kata Djoko kepada VIVA Edukasi, Senin, 29 Juli 2024.

Djoko menjelaskan, aturan mengenai sepeda listrik tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 45 Tahun 2020 yang merujuk pada beberapa kendaraan yang menggunakan motor listrik. Namun masih banyak masyarakat yang melanggar peraturan yang ada.

“Beberapa kendaraan listrik adalah kendaraan listrik yang digunakan untuk mengangkut orang di wilayah operasi dan/atau jalan tertentu,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskannya, kendaraan tersebut adalah sepeda motor listrik, papan catur, unicorn, skuter, dan sepeda listrik.

Motor listrik adalah kendaraan khusus yang rodanya lebih kecil, dilengkapi alat mekanis berupa motor listrik pada dua roda atau lebih, dilengkapi tempat duduk dan alas kaki dan/atau pedal, dan/atau alat mekanis berupa motor listrik. Motor untuk mengendarainya.

Hoverboard adalah kendaraan listrik khusus yang bertumpu pada dua roda, dikelilingi oleh roda, dan menggunakan sensor atau teknologi lain yang memandu kemiringan kaki dan badannya.

Skuter adalah kendaraan roda dua atau lebih yang alat mekanisnya berupa motor listrik. The Unique merupakan kendaraan roda satu yang mempunyai tempat duduk dan digerakkan secara mekanis berupa motor listrik.

Sedangkan sepeda listrik adalah kendaraan roda dua yang dilengkapi alat mekanis berupa motor listrik. Berbeda dengan sepeda listrik dan sepeda motor (sepeda) listrik. Sepeda dibatasi kecepatan maksimalnya 25 km/jam. sepeda berbeda-beda penggunaannya, tidak pada lingkungannya. Oleh karena itu, peran orang tua harus kuat dalam mengontrol cara mengemudi anak.

Untuk itu, Djoko mengatakan, syarat keselamatan sepeda listrik (Pasal 3 ayat 2) perlu dipenuhi, antara lain lampu depan, lampu posisi atau reflektor (reflektor) di belakang, reflektor (reflektor) di kiri luar . Dan di sebelah kanan sistem rem yang berfungsi dengan baik, klakson atau bel dan kecepatan tertinggi 25 km/jam.

Selain itu, syarat pengguna helm harus berusia minimal 12 tahun, tidak membawa penumpang kecuali dilengkapi tempat duduk samping, tidak mengganti mesin untuk menambah kecepatan serta harus memahami dan menaati peraturan lalu lintas. Hukum.

Memahami dan menaati peraturan lalu lintas, termasuk penggunaan kendaraan dengan baik, memperhatikan keselamatan pengguna jalan lain, mengutamakan pejalan kaki, menjaga jarak aman dengan pengguna jalan lain dan berkendara dengan penuh fokus.

Kawasan berkendara antara lain jalur khusus sepeda untuk beberapa kendaraan bermotor, kawasan pemukiman, car free day, kawasan wisata, kawasan sekitar kawasan angkutan umum besar dengan motor listrik, ruang perkantoran, kawasan off-road dan trotoar yang mengutamakan keselamatan pejalan kaki.

“Mencolokkan lampu. Sepeda riskan akan berbahaya di jalan raya karena banyak penggunanya yang menggunakannya di jalan nasional, padahal kendaraan ini bisa digunakan di trotoar. Jalanan bagus. Sepeda listrik sepi dan lambat, terutama di jalan umum. Ada tidak banyak trotoar di jalan-jalan negara, tapi “tidak ada cukup trotoar untuk sepeda.”

Djoko juga mengatakan, pengelolaan harus dimulai. Salah satu caranya adalah ketika membeli pelanggan harus diingatkan bahwa mobilnya tidak boleh melaju di jalan umum.

Pemberitahuan ini mungkin diberikan oleh penjual. Ada pendidikan pelanggan. Penyalahgunaan e-bike menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat, dibarengi dengan rendahnya penegakan hukum.

Selain itu, pendidikan pedagang, Korlantas, Ditlantas, Satlantas, Ditjenhubdat, serta dinas transportasi provinsi dan kota/provinsi di setiap daerah harus diinformasikan dan diingatkan secara berkala.

“Kontrol orang tua terhadap anak harus diperkuat. Semua pihak harus berperan, termasuk pendidikan di sekolah. Keamanan tidak tahu tugasnya siapa, tapi itu tanggung jawabnya,” kata Djoko.

Kampanye keselamatan harus dilakukan secara rutin dan gencar, tidak hanya pada waktu-waktu tertentu. Salah satu cara yang paling efektif, kata dia, adalah dengan memasukkan materi ke dalam kurikulum sekolah.

“Dengan cara ini, anak-anak akan dituntut untuk menerima dan memahami materi keselamatan yang ada.” “Jangan sampai anak-anak menjadi korban dan menimbulkan kecelakaan di jalan raya yang dapat membahayakan pengemudi,” imbuhnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *