Titik Kumpul – Salah satu cara orang mengungkapkan perasaan dan emosinya adalah dengan menangis untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesedihan, atau emosi lainnya. Puasa seharusnya tidak hanya mengurangi rasa lapar dan haus, tetapi juga mengurangi emosi.
Sebelumnya kita tahu bahwa ada beberapa hal yang bisa membatalkan puasa, seperti sengaja makan atau minum, memasukkan sesuatu ke dalam rongga tubuh, dan lain-lain. Namun masih ada perdebatan apakah menangis bisa membatalkan puasa atau tidak.
Dikatakan Badan Amil Zakat Nasional pada Rabu 27 Maret 2024, menangis tidak membatalkan puasa karena tidak masuk ke tubuh bagian dalam (jauf). Menurut Hadits Muslim, Abu Bakar As Siddiq biasa menangis saat berdoa atau membaca Al-Qur’an. Meski belum jelas mengapa menangis bisa membatalkan puasa, namun tidak menutup kemungkinan menangis saat puasa.
Tidak ada yang masuk ke wajah atau tenggorokan saat menangis sehingga umat Islam bisa berpuasa.
Artinya : “Cabang-cabang permasalahannya. Tidak menjadi masalah bagi orang yang berpuasa untuk memakan dirinya sendiri, baik di tenggorokannya terdapat rasa atau tidak. Karena mata bukanlah bagian dari jauf (bagian dalam) dan tidak ada jalan dari mata sampai ke tenggorokan” (Syekh Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Rawdah at-Thalibin, Jilid 3, halaman 222).
Namun jika air mata akibat menangis bercampur dengan air liur dan tersangkut di tenggorokan, hal ini bisa membuat orang tersebut tidak bisa berpuasa karena air matanya tertelan.
Pasalnya, menangis tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang dapat membatalkan puasa, padahal umat Islam dilarang menangis. Puasa hendaknya dilakukan dengan penuh suka cita, fokus pada peningkatan shalat dan berharap mendapat puji syukur dari Allah SWT.
Namun sebagian ulama menjawab bahwa menangis tidak membatalkan puasa kecuali dilakukan dengan sengaja. seperti dikutip Husein Ja’far Al Hadar dalam konten YouTube.
“Tidak, menangis tidak membatalkan puasa yaitu makan dan minum dari lubang badan. Kalau ini bukan lubang dan keluar air mata.” Bisa saja para sesepuh mengajarkan untuk tidak menangis, demikian kata mereka. tidak menangis atau merasa hampa, tetapi mereka tidak cukup menciptakan kebohongan untuk mengajar anak-anak mereka.”