JAKARTA – Abdul Harith Nasutton, tokoh pembangkang di era Soeharto, merupakan salah satu tokoh yang berani menentang kebijakan rezim. Dia bahkan disebut sebagai “Jenderal Maverick”.
Bersama sejumlah tokoh lain seperti Ali Sadiqin, Hug Imam Santoso, Burhanuddin Harap, dan Muhammad Nasir, Nasutton termasuk kelompok yang memilih menandatangani Petisi 50 pada 5 Mei 1980.
Petisi ke-50 ini sebenarnya merupakan bentuk protes terhadap klaim Soeharto yang menyebut dirinya sebagai perwujudan Pancasila. Kritik terhadap rezim ini menilai kebijakan Soeharto tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat dan negara.
Mereka merupakan suara oposisi terhadap pemerintahan Soeharto selama lebih dari sepuluh tahun. Bersama-sama, mereka membentuk kelompok diskusi yang disebut Prasild, yang terdiri dari purnawirawan elite militer dari tiga divisi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, yakni Brawijaya, Siliwang, dan Diponegoro.
Melalui kelompok ini, mereka mengkritisi situasi politik saat itu. Namun, respons keras rezim Soeharto terhadap kelompok oposisi ini tak terbantahkan. Mereka menilai rezim Soeharto yang berkuasa saat itu merupakan ancaman.
Mereka juga menghadapi tindakan pengekangan, termasuk melarang media cetak meliput pernyataan mereka, menolak undangan resmi pemerintah, dan bahkan diancam akan dideportasi ke Pulau Buru sebagai tahanan politik.
Meski demikian, keberanian para kritikus militer dalam mengkritik pemerintahan Suharto menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perlawanan politik Indonesia saat itu dan masih dikenang hingga saat ini.
Jenderal Senior (Purn) A.H. Nama lengkap Nasutoni adalah Abdul Harit Nasution. Ia dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1918 di Hota Bongkot, Kecamatan Kutanuban, Tapanul Selatan. Ia merupakan anak kedua dari Abdul Halim Nasutton dan Zahra Lubis.
Abdul Harith Nasutton adalah seorang jenderal yang saat itu dikenal sebagai pendiri perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Ia juga menjadi sasaran Gerakan 30 September atau G30S PKI.