Viral Uang Sumbangan di SMKN 1 Depok, Tiap Siswa Dipatok Rp2,8 Juta

Depok – Siswa SMKN 1 Depok mengumpulkan sumbangan untuk mendanai sekolah. Rp 2,8 juta per siswa per tahun. Penggalangan dana tersebut viral di media sosial dan mendapat banyak komentar.

Wakil Kepala Bidang Kemitraan SMKN 1 Dipok Enden mengatakan, ada kebutuhan sekolah yang tidak masuk dalam biaya operasional sekolah (BOS). Oleh karena itu, diadakan pertemuan dengan komite sekolah dan orang tua untuk membahas dana tersebut. Nilai perlengkapan sekolah tersebut sekitar Rp 4,3 miliar.

“Panitianya dibentuk KCD dan tentunya pihak sekolah harus memasukkan kegiatan tersebut ke dalam rencana aksi anggaran sekolah (RKAS). Dilaporkan ke dinas, ada biaya yang didanai BOS dan ada juga yang tidak didanai,” ujarnya pada Senin, 11 September 2023.

Enden mengatakan, sumbangan tersebut dikumpulkan untuk menutupi biaya bergabung dengan BOS. Ia mengaku telah mencari dana untuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari badan-badan setempat. Karena dana CSR tidak tersedia, pihak sekolah mengadakan penggalangan dana.

“Lanjutkan rapat panitia dengan penggalangan dana. Ya, bentuk memang membantu, tapi tidak memaksa. “Jumlah itu adalah jumlah yang dibutuhkan,” ujarnya.

Soal uang Rp 4,3 miliar itu digunakan untuk apa, Enden mengaku tak ingat detailnya. Angka delapan ini hanya untuk keperluan sekolah.

“Kebutuhannya sekitar delapan, artinya NOK 4 miliar tidak didanai, karena rencananya kami akan memasukkan total kebutuhan kegiatan sekolah di dalamnya,” tegasnya.

Ia juga belum mampu menjelaskan tingkat prioritas dari delapan kebutuhan yang dimaksud. Pasalnya, seluruh kebutuhan sekolah masuk dalam skala prioritas.

“Semua ada, jadi semua mengharapkan prioritas kalau soal prioritas, tapi kalau anggarannya tidak cukup, kalau saya mau bilang prioritas, saya harus bahas dulu karena tergantung anggaran. “Karena BOS dan BOPD sudah punya aturan BOS mana yang boleh keluar atau tidak,” ujarnya.

Enden kemudian mengatakan, tidak perlu mengeluarkan biaya sumbangan sebesar Rp 2,8 juta per siswa. Nilai ini terungkap saat pemaparan pertemuan kemarin. Menurutnya, ada perbedaan pemahaman antara orang tua dan siswa sehingga menjadi ramai seperti sekarang.

“Iya logis, mungkin itu bahasa panitia, jadi akhirnya begitu. “Pada akhirnya tidak, sebisa mungkin, itu berlebihan jika tidak memiliki bahasa yang cukup,” ujarnya. Baca artikel pendidikan menarik lainnya di tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *