Tekan Angka Kematian Bayi, Cegah Infeksi Virus RSV Diminta Jadi Prioritas Pemerintah

VIVA Lifestyle – Neonatologi, Prof. Dr. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, SpA(K) mengingatkan, penting bagi Pemerintah untuk melakukan upaya sosialisasi, pencegahan, deteksi, dan pengobatan penderita penyakit Respiratory Syncytial Virus (RSV) di Indonesia. . 

RSV sendiri merupakan virus yang menyebabkan infeksi paru-paru dan saluran pernafasan. Virus ini terutama menyerang anak-anak di bawah usia dua tahun. Namun virus ini juga bisa menyerang orang dewasa. Scroll untuk informasi selengkapnya, yuk!

Sekadar informasi, pada salah satu studi Community Acquired Pneumonia (CAP) tahun 2022 di Indonesia, RSV merupakan salah satu patogen yang ditemukan, kata Prof. Rinawati dalam sambutannya, dikutip Senin 1 Juli 2024. 

Hasilnya, kasus RSV di Indonesia mencapai 27,1 persen dan menduduki peringkat kedua akibat CAP pada anak di bawah 5 tahun. Meski merupakan penyakit campuran atau penyakit tunggal akibat virus, RSV merupakan patogen paling umum di Indonesia. pelajaran ini.

Berdasarkan tinjauan sistematis literatur, prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Bawah (LRTI) atau RSV di Indonesia adalah 50,1 per 1000 anak setiap tahunnya dengan total 1.245.1852 kasus. Insiden dan prevalensi infeksi RSV penyebab LRTI berat paling sering terjadi pada kelompok usia <1 tahun.

Mengenai penelitian terhadap empat penelitian lokal yang berbeda juga menunjukkan bahwa ini adalah virus yang muncul setiap tahun. Dimana populasi tertinggi terdapat pada minggu ke 48 (Awal Desember) pada minggu ke 16 (Akhir Maret). Namun para ahli berpendapat bahwa masih percaya bahwa ini akan menyusul flu yang berlangsung sepanjang tahun,” ujarnya. 

Menurut Prof. Rinawati, penyebab utama infeksi RSV parah adalah bayi prematur dan bayi jangka panjang dengan CP (Cerebral Palsy). Dimana terdapat 2,02 persen anak berisiko tinggi dilahirkan dengan RSV ID. 

“Angka kematian bayi prematur risikonya tinggi hingga 3 persen, sedangkan angka kematian akibat COVID pada anak sebesar 0,4 persen. Artinya, risiko infeksi RSV pada bayi prematur sangat tinggi. Sedangkan Indonesia adalah yang terbaik. 5 negara di dunia yang lahir prematur – mereka berisiko tinggi, “ujarnya. 

Prof Rina menjelaskan banyak kasus LRTI seperti pneumonia dan bronkiolitis yang diduga disebabkan oleh RSV. Namun, hal ini terkadang tidak jelas karena ketidakmampuan memperoleh tes diagnostik untuk mendeteksi keberadaan virus RSV. 

“Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan penanganan terhadap penyakit RSV, terutama untuk mencegah kematian anak-anak yang berisiko tinggi terkena pneumonia akibat penyakit RSV,” tegasnya.

Dalam hal ini, Prof. Rina juga mengatakan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap risiko penyakit RSV secara umum masih rendah, termasuk orang tua yang memiliki anak berisiko tinggi terkena RSV. Cara yang mudah untuk mengukurnya adalah dengan melihat Google Trends di Indonesia dengan kata kunci “Infeksi RSV” dan “Pneumonia” sebagai salah satu hasil RSV. 

“Nampaknya sebagian masyarakat mengasosiasikan RSV dengan pneumonia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti terbatasnya informasi yang tersedia dan kurangnya kampanye edukasi masyarakat tentang penyakit RSV,” ujarnya.

Prof. Rina mengatakan hingga saat ini belum ada pengobatan pasti untuk infeksi RSV (hanya pengobatan). Oleh karena itu, pencegahan merupakan upaya yang paling penting untuk dilakukan. Tindakan segera harus diambil untuk mencegah infeksi RSV, terutama pada pasien yang berisiko tinggi terkena infeksi RSV parah. Menurutnya, Pemerintah harus berupaya meningkatkan kesadaran, terutama bagi pasien yang berisiko tinggi dan masalah yang menimbulkan masalah jangka panjang. 

“Hal ini bisa berupa kampanye kesadaran penyakit, serta edukasi berkelanjutan dari para pemangku kepentingan, termasuk medis (dokter), masyarakat, pemerintah dan lainnya,” ujarnya.

Selain itu, Prof. Rina, pemerintah mungkin juga berupaya meningkatkan ketersediaan tes skrining virus, khususnya RSV. Sehingga kasus LRTI akibat RSV dapat diketahui dengan baik, sehingga dokter dan orang tua semua mengetahui bahwa virus RSV itu kuat. 

“Kemudian upaya dari segi pengobatan (penggunaan obat-obatan). Untuk memastikan pasien dengan komplikasi serius akibat RSV dapat ditangani secara efektif,” imbuhnya. 

“Pada bayi prematur dan kelompok risiko tinggi lainnya, selain mengurangi penyebaran dan penyebaran RSV dengan kebiasaan bersih dan sehat, penting untuk mempertimbangkan pemberian imunoprofilaksis atau profilaksis/pencegahan menggunakan antibodi monoklonal spesifik RSV (Palivizumab),” ujarnya. . . dia menambahkan. 

Menurut Prof Rina, penggunaan mAb khusus untuk mencegah RSV telah dilakukan di beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, Australia, Jepang dan lain-lain. Kemudian, untuk tetap mencegah risiko pneumonia, Anda dapat melanjutkan dengan vaksin lain, sesuai jadwal vaksinasi saat ini.

RSV sendiri merupakan penyakit pernafasan serius yang menimbulkan gejala mulai dari gejala ringan seperti flu hingga gangguan pernafasan berat, terutama pada kelompok rentan seperti bayi, anak kecil, dan lansia.

RSV sangat menular dan menyebar melalui sekret pernapasan. Ketika orang yang terinfeksi batuk, bersin, atau berbicara, tetesan yang mengandung virus dilepaskan ke udara dan kemudian dihirup oleh orang lain. Virus ini juga dapat hidup di permukaan benda selama beberapa jam, sehingga HIV dapat menular melalui kontak dengan area yang terkena.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *