Dunia Olahraga Harus Belajar dari Kasus Imane Khelif dan Lin Yu-ting

JAKARTA, VIVA – Pengalaman kurang menyenangkan dialami Iman Khalif dan Lin Yu Ting yang berlaga di tinju Olimpiade Paris 2024. Ia berhasil memenangkan perlombaan ini namun stigma dunia terhadap mereka sangat negatif.

Jenis kelamin Iman Khalif dan Lin Yu Ting dipertanyakan hanya karena mereka berpenampilan seperti laki-laki dan mampu mendominasi lawan perempuan mereka. Keduanya dihina di media sosial.

Federasi Tinju Internasional pun ikut bertanggung jawab atas stigma negatif terhadap kedua petinju ini. Pasalnya, tahun lalu Khalif dan Lin gagal dalam tes verifikasi gender.

Menurut Associated Press, pejabat Komite Olimpiade Internasional mengatakan pengujian terhadap kedua petinju itu sewenang-wenang. Meski diketahui dilahirkan, namun mereka teridentifikasi sebagai perempuan.

Khalif tak menampik dalam wawancaranya bahwa pelecehan dan hinaan yang diterimanya memberikan dampak psikologis yang besar. Ia merasa terpukul dengan komentar-komentar di sana.

“Hal ini dapat menghancurkan orang, dapat membunuh pikiran, jiwa dan pikiran orang. Hal ini dapat memecah belah orang,” kata wanita asal Aljazair itu.

Sungguh miris sekali apa yang menimpa kedua petinju putri ini. Dunia olahraga perlu belajar dari masalah ini karena sudah pernah terjadi sebelumnya.

15 tahun yang lalu ada seorang pelari muda asal Afrika Selatan bernama Caster Semenya. Jenis kelaminnya diteliti secara publik di Kejuaraan Dunia 2009.

Semenya, yang saat itu baru berusia 18 tahun, harus mengikuti tes verifikasi gender dan menjadi pusat gosip tidak menyenangkan tentang detail tubuhnya.

Dia juga juara Olimpiade dua kali di nomor 800 meter. Namun kemungkinan teridentifikasi sebagai perempuan dengan kondisi medis akan mengakibatkan perempuan dilarang berlari kecuali kadar testosteron mereka diturunkan secara medis.

Semenya menghadapi kritik yang sama seperti yang dialami Khalif dan Lin saat ini. Bahkan ada jaringan disinformasi Rusia yang menyebarkan kabar kedua petinju tersebut berjenis kelamin laki-laki atau transgender.

“Olahraga adalah untuk semua orang dan konstitusi melarang diskriminasi. Namun ketika mereka membiarkan perempuan dipermalukan, itu membingungkan kami,” kata Semenya. katanya.

Semenya mengimbau para pejabat olahraga untuk menjaga, menjaga, dan menghormati perempuan karena dirinya sendiri pernah mengalami hal seperti ini dan merasakan sakitnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *