Ramai-ramai Menambang di Laut Dalam

Jakarta, VIVA – Logam dan tanah jarang tersimpan dalam jumlah besar di laut dalam. Namun, penambangan dapat merusak sistem kelautan yang sensitif secara permanen.

Apa langkah selanjutnya untuk penambangan laut dalam?

Otoritas Dasar Laut Internasional (ISA), yang berkantor pusat di Kingston, Jamaika, mengembangkan seperangkat aturan untuk mengatur ekstraksi bahan mentah dari dasar laut.

Meskipun masalah ini telah dibahas selama berminggu-minggu, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.

ISA ingin menetapkan peraturan yang mengikat untuk penambangan laut dalam pada tahun 2025 karena tanpa peraturan tersebut, penambangan bawah air tidak dapat dimulai.

Negosiasi perjanjian ini telah berlangsung selama beberapa tahun, seperti dikutip dari situs AC, Selasa 13 Agustus 2024.

Namun, dalam diskusi terakhir di Dewan ISA di Jamaika pada akhir Juli 2024, terlihat jelas bahwa sebagian besar undang-undang tersebut masih kontroversial, termasuk pertanyaan tentang bagaimana kerusakan lingkungan dapat dihindari dan bagaimana pemantauan bawah air dapat diatur.

Beberapa negara, termasuk Jerman, Brazil dan Pulau Palau, telah menyerukan untuk tidak menerapkan peraturan pertambangan laut dalam sampai dampak lingkungannya dipelajari lebih lanjut.

Di sisi lain, Tiongkok – bersama Nauru, Norwegia, dan Jepang – berupaya mencapai kesepakatan lebih cepat agar penambangan bisa segera dimulai. Namun, prosesnya bisa memakan waktu.

Sebanyak 32 dari 169 negara anggota ISA kini menyerukan jeda, moratorium atau bahkan larangan penambangan laut dalam.

Namun, terlepas dari kekhawatiran ini, grup Kanada The Metals Company (TMC), telah mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan permohonan penambangan laut dalam untuk tujuan komersial kepada ISA tahun ini.

Penambangan laut dalam terutama dilakukan untuk mengekstraksi butiran mangan dan mineral lainnya dari dasar laut terbuka. Luas wilayahnya meliputi separuh luas lautan di dunia.

Dengan anak perusahaannya di negara kepulauan Nauru, TCM ingin aktif di zona Clarion-Clipperton di Pasifik mulai tahun 2026.

Kawasan-kawasan ini tergolong “warisan bersama umat manusia” dalam artian bahan mentah di sana bukan milik satu negara, melainkan milik semua orang.

ISA bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pertambangan di wilayah ini sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hingga saat ini, ISA telah mengeluarkan 31 izin untuk mengeksplorasi wilayah tertentu. Lima di antaranya diberikan kepada perusahaan China. Namun banyak negara lain, seperti Jerman, India, dan Rusia, juga terlibat dalam eksplorasi.

Norwegia ingin memulai penambangan laut dalam secepat mungkin di Atlantik Utara antara Greenland dan Svalbard. Jepang juga merencanakan penambangan laut dalam di wilayah nasionalnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *