JAKARTA – Saat ini banyak anak muda yang mengalami gangguan jiwa akibat tuntutan pekerjaan dan gaya hidup yang cukup tinggi. Selain itu, gangguan jiwa juga dialami oleh peserta Program Pelatihan Kedokteran Khusus (PPDS) selama mengikuti pelatihan.
Berdasarkan data Analisis Kesehatan Jiwa Tenaga Medis Pemula di 28 rumah sakit pendidikan vertikal terhadap 12.121 PPDS, terdapat 2.716 tenaga medis baru yang terdiagnosis depresi. Sebanyak 1.977 orang di antaranya mengalami gejala ringan, 486 orang mengalami depresi sedang, 178 orang mengalami depresi sedang hingga berat, dan 75 orang mengalami depresi berat. Telusuri informasi lebih lanjut.
Hingga saat ini, banyak faktor yang diyakini menjadi penyebab gangguan jiwa pada calon tenaga medis, antara lain beban keuangan dan tanggung jawab selama mengabdi. Selain itu, kasus-kasus perundungan (bullying) tersebar luas sehingga membuat korbannya merasa tidak diinginkan dan bahkan putus asa.
“Ini baru pemeriksaan awal, perlu pemeriksaan lebih komprehensif untuk mengetahui penyebab pastinya. Namun kita tahu bahwa PPDS memberikan beban pada pendidikan, pelayanan dan keuangan. Apalagi kalau ditambah dengan perundungan,” kata perwakilan Kepala Kementerian Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Dr. Kota Nadia Tarmizi saat dihubungi Titik Kumpul, Selasa 16 April 2024.
Selain itu, terdapat 5 pendidikan dengan PPDS yang paling banyak mengalami gejala depresi. Pendidikan kesehatan anak menempati urutan pertama dengan jumlah 381 (14,0 persen). Kedua, ilmu penyakit dalam sebanyak 350 (12,9 persen), anestesi dan perawatan intensif sebanyak 248 (9,1 persen), neurologi sebanyak 164 (6,0 persen), serta ilmu obstetri dan ginekologi sebanyak 153 (5,6 persen).
Tentu saja pemerintah harus segera menyelesaikan masalah ini agar dapat melahirkan dokter spesialis yang berkualitas. Untuk itu, Kementerian Kesehatan akan berdiskusi lebih lanjut dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta pihak rumah sakit mengenai solusi yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan kejiwaan para calon dokter tersebut.
“Kuisioner ini akan kami kirimkan ke rumah sakit vertikal dan rumah sakit terkait serta berkoordinasi dengan Kemendikbud untuk kemudian dicarikan solusi perbaikannya. Termasuk skrining kesehatan jiwa secara rutin pada awal masuk dan saat pelatihan,” jelas dr. Kota Nadia.