Jakarta, Titik Kumpul – Asosiasi Konsumen Produk Tembakau Alternatif menyatakan ketidakpuasannya terhadap keputusan pemerintah terkait aturan pengemasan produk tembakau alternatif.
Hal itu tertuang dalam Rancangan Peraturan Kesehatan (RPMK), salinan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pemberlakuan Undang-Undang (UU) Kesehatan 17/2023 tentang Keamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.
Seperti diketahui, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan finalisasi aturan PP 28/2024 pada minggu kedua September 2024 sebelum pergantian menteri berupa Kementerian Kesehatan. .
Rancangan PMC tersebut memuat peraturan pengemasan yang jelas untuk produk tembakau dan rokok elektrik, dengan mengacu pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Mari kita lanjutkan menelusuri artikel lengkapnya di bawah ini.
Sekretaris Aliansi Uap Indonesia (AVI) Wiratna Eko Indra Putra mengaku kecewa dengan pemerintah karena penyusunan PP 28/2024 hanya menunjukkan kepentingan kesehatan sepihak tanpa mempertimbangkan aspek pendukung lainnya.
Viratna, 16 September 2024 “Persetujuan aturan ini mempersulit konsumen lanjut usia untuk beralih ke produk yang berisiko lebih rendah.”
Saat ini berbagai penelitian ilmiah telah dilakukan baik dari luar maupun dalam negeri yang menemukan bahwa tingkat risiko berbagai produk tembakau termasuk rendah.
Viratna berharap pemerintah harus membedakan peraturan produk tembakau alternatif dengan rokok berdasarkan temuan penelitian ilmiah yang ada.
Ia juga menekankan pentingnya temuan penelitian ilmiah yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sektor anggur. Tujuannya agar aturan yang ada tidak memberatkan kedua belah pihak tanpa adanya solusi yang jelas.
“Salah satu tujuan produk tembakau alternatif adalah untuk mengurangi risiko penyakit akibat merokok. Selain itu, perokok lanjut usia diberikan peluang berisiko untuk meningkatkan kualitas hidup mereka,” ujarnya.
Viratna berharap, alih-alih menerapkan peraturan yang bisa menjadi langkah mundur dalam menurunkan prevalensi merokok, pemerintah bisa merefleksikan keberhasilan negara-negara maju seperti Inggris yang telah menggenjot produk tembakau alternatif untuk menurunkan jumlah perokok.
Selain itu, penelitian ilmiah oleh lembaga penelitian lokal terkait produk harus dilakukan secara luas dengan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.
Lain halnya dengan Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Fathudin Kalimas yang mengatakan partisipasi masyarakat harus terbuka dengan partisipasi semua pihak, terutama pihak yang terdampak dengan terbitnya PP 28/2024.
Dengan demikian, tidak akan menguntungkan satu pihak dengan menindas pihak lain.
“Jika rumusannya tidak melibatkan pemangku kepentingan terkait, maka akan berdampak pada legitimasi dan efisiensinya di bidang tersebut. Selain itu, rumusan tersebut dapat mengabaikan hak dan kepentingan sebagian pemangku kepentingan,” ujarnya.
Oleh karena itu, Fatudin mengatakan banyak peraturan yang menimbulkan perselisihan karena tidak adanya saluran kebutuhan berbagai pemangku kepentingan harus ditinjau ulang.
Prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan adalah keadilan, sehingga harus mencerminkan kepentingan yang dipertaruhkan.
“Aturan ini akan berdampak pada keberlangsungan UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), industri periklanan, industri kreatif, dan usaha kecil lainnya. Padahal, pemerintah ingin melahirkan UMKM dalam skala besar, kebijakan ini berpotensi menghancurkan industri-industri tersebut. .Jika benar jika ada opsi untuk mengabaikannya, “peninjauan kembali dapat dilakukan juga di Pengadilan Tinggi”.
Fathudin juga menilai ketentuan PP 28/2024 bersifat terbatas dan dapat mencegah perokok lanjut usia untuk merokok. Faktanya, produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah.
“Jika kebiasaan merokok dirasa sulit dihilangkan, setidaknya beralih ke produk yang berisiko rendah bisa menjadi bagian dari strateginya,” ujarnya.