JAKARTA, Titik Kumpul – Film ‘Aku Jati, Aku Asperger’ yang tayang di bioskop mulai 31 Oktober 2024 mendapat kritik sebelum dirilis.
Film yang mengisahkan perjuangan remaja autis dalam menemukan jati dirinya di tengah berbagai tantangan sosial ini dipandang sebagai representasi anak autis di beberapa platform X.
Film tersebut menampilkan aktor-aktor ternama seperti Jeffrey Nicol, Hangini, Dicta Wiccasono, Carissa Perusset, Livy Renata, Ika Nusa Pertiwi, Keysia Levronka, Ziva Magnolia, Gabriel Prince, Katrina JKT48, Novek Novian, Mamat Alkatiri, Willem Beavers dan Vonni Alecatiri.
Namun kehadiran bintang-bintang ternama tak menyurutkan kritik keras terhadap penggunaan kata “Asperger” pada judul film yang disebut-sebut telah berakhir.
Istilah sindrom Asperger sendiri telah dihapus dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) American Psychiatric Association sejak tahun 2013.
Dalam DSM-5, kondisi ini digabungkan dalam kategori gangguan spektrum autisme (ASD), yang menghilangkan subkategori lain untuk menunjukkan perbedaan perilaku pada spektrum autisme.
“Saya masih menggunakan kata Asperger dan itu akan terjadi pada tahun 2025,” tulis pengguna X, @kkambingpirang.
Bukan hanya liriknya saja yang jadi persoalan, penggambaran Jeffrey Niccol sebagai orang autis juga menuai kritik. Banyak netizen yang menilai busana Nicole di film tersebut terlalu ekstrim dan tidak praktis.
Warganet akun @terewav menilai film yang mengaku autis ini tidak mewakili pakaian yang biasa dikenakan anak autis.
“Saya sepenuhnya menyalahkan pembuat film dan penata gaya atas hal ini, karena saya autis dan saya tidak merasa terwakili. Banyak dari kita yang memiliki fesyen yang bagus,” tulisnya.
Ia juga menambahkan, Alistix, pengisi suara orang non-autis, seharusnya meneliti cara berpakaian anak autis sebelum memutuskan untuk syuting.
“Orang yang elastis harus mempelajari cara berpakaian orang di dunia nyata,” ujarnya.
Menanggapi kritik tersebut, Jeffrey Nichols yang berperan sebagai tokoh utama pun angkat suara. Jeffrey mengungkap dirinya sempat adu mulut dengan tim kostum film terkait kostum tersebut.
“Saat persiapan film ini, saya sempat berkonflik dengan kostumnya karena kostumnya menarik, seperti sebuah produk yang memiliki tujuan.”
Kritik ini memunculkan diskusi tentang pentingnya penelitian mendalam dan inklusi penyandang disabilitas dalam film-film yang berfokus pada disabilitas.