Jakarta, Titik Kumpul – Istilah mayoritas diam muncul pada akhir tahun 1960-an. Terutama ketika Presiden Richard Nixon menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada segmen masyarakat yang relatif diam namun penting. Ini menjadi populer pada akhir tahun 1960an, terutama dalam konteks politik Amerika Serikat. Pandangan politiknya terlihat oleh publik dan terus berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan nasional. Mayoritas diam ini adalah kelompok yang suaranya jarang terdengar di media atau ruang publik, namun partisipasinya dalam proses pemungutan suara menjadi penentu penting dalam pemilu.
Di Indonesia, konsep mayoritas diam lebih masuk akal dalam konteks politik kontemporer; Apalagi ketika masyarakat tidak puas dengan situasi politik atau merasa tidak terwakili oleh orang atau partai tertentu. bergerak lebih banyak OK.
Pada Pilkada Jakarta 2024, gerakan Silent Majority Jakarta (SMJ) yang mendukung calon independen Dharma Pongrekun dan Kun Wardana menjadi yang terdepan, dan dilihat dari hasil survei Preferensi Politik Indonesia (PPI), 42,6 persen pemilih Jakarta masih memilih. dalam kategori massa mengambang atau pemilih mengambang. Pemilih tersebut antara lain adalah mereka yang belum menentukan pilihan (undecided voter) dan pemilih setia yang mungkin masih terpengaruh oleh kampanye pasangan calon.
Menurut Presiden Relawan SMJ Romeo V. Sianipar, tingginya swing voter merupakan indikasi kuat bahwa Jakarta menginginkan kepemimpinan yang benar-benar fokus pada kepentingan rakyat dan bebas dari kepentingan politik transaksional. Silent Majority Jakarta menyebut diri mereka mewakili suara silent mayoritas yang berpendapat bahwa anggaran besar Jakarta sebesar Rp 70 triliun harus dikelola langsung untuk kepentingan rakyat dan bukan hanya untuk kepentingan elite.
SMJ melihat hal ini sebagai bukti kuat bahwa warga Jakarta menginginkan kepemimpinan yang fokus pada kesejahteraan masyarakat dan membawa solusi nyata bagi kota. Romero mengatakan dengan anggaran melebihi Rp70 triliun, Jakarta harus memastikan dana tersebut dikembalikan kepada pemerintah. rakyat, bukan hanya para elit.”
Gerakan SMJ dan paslon Dharma-Kun menjadikan diam sebagai strategi utama menggalang suara. Kegiatan mereka juga mengedepankan nilai-nilai agama dan kekayaan bersama, tanpa memandang latar belakang atau status sosial; “Jakarta adalah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Besar, Maha Baik dan Maha Penyayang. Semoga kehendak Tuhan juga untuk Jakarta.” Dengan kata lain, pasangan Dharma-Kun ingin Jakarta menjadi pusat stabilitas dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan masyarakat yang harmonis .
Peristiwa Silent Majority di Pilakadar Jakarta juga dipengaruhi oleh ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik. Banyak orang yang bosan dengan kebijakan transaksional yang hanya mementingkan kepentingan segelintir orang.