MK Putuskan KPK Berwenang Selidiki Kasus Korupsi yang Libatkan Oknum Militer, Ini Kata Mabes TNI

Jakarta, Titik Kumpul – Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang mengusut korupsi yang melibatkan TNI atau militer. Asalkan penyidik ​​KPK menangani kasus tersebut sejak awal.

Pernyataan tersebut merupakan penafsiran baru terhadap pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Badan Pemberantasan Korupsi (UU 30/2002). yang baru-baru ini disetujui oleh hakim Mahkamah Konstitusi

Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Kepala Pusat Penerangan TNI Angkatan Darat (Kapuspen TNI), Mayjen TNI Hariyanto menegaskan, pihaknya menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi.

Menurut Ketua Penuspen TNI, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan menafsirkan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Meski demikian, Panglima TNI tetap mengatakan Mabes TNI akan terus mempelajari putusan MK tersebut. dan bekerja sama dengan beberapa lembaga penegak hukum lainnya, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung. Guna menaati putusan Mahkamah Konstitusi

“TNI menghormati segala putusan Mahkamah Konstitusi sebagai otoritas konstitusional. dan berkoordinasi dengan komite antikorupsi Kejaksaan Agung dan instansi terkait untuk memastikan kasus tersebut mengikuti prinsip keadilan dan keadilan. Tanpa bertentangan dengan peraturan (UU) lain dan tanpa mengganggu misi utama TNI dalam melindungi negara, kata Kepala Media TNI Mayjen TNI Hariyanto kepada wartawan. Pada hari Jumat, 29 November 2024

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempunyai kewenangan mengusut tindak pidana korupsi yang dilakukan terhadap pihak militer. Bahkan ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht) sepanjang perkaranya merupakan yang pertama kali diajukan oleh KPK.

Penegasan tersebut merupakan penafsiran baru Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Badan Pemberantasan Korupsi (UU 30/2002). 87/PUU-XXI/2023 Hal itu diminta oleh pendukung Gugum Ridho Putra.

“Sidang dan persetujuan permohonan pemohon sebagian,” Suhartoyo, Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Berbicara saat membacakan putusan di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.

Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi: “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi pada pihak militer dan lembaga peradilan pada umumnya”.

Mahkamah Konstitusi memutuskan pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga pada bagian akhir ditambahkan kalimat penegasan: “Sepanjang hal itu masih diragukan, maka upaya penegakan hukum dilakukan oleh Komisi NACC. memprakarsai atau memprakarsai/menemukannya.”

Dalam perkara tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam perkara korupsi mencakup permasalahan perdata dan militer. Selain itu, ia juga terkenal korupsi. Hal ini bermula dari perbedaan penafsiran di kalangan aparat keamanan terkait penunjukan UU 42 UU 30/2002.

Menurut Fakta Mahkamah Konstitusi Jika ketentuan pasal ini dipahami secara gramatikal, telefonis, dan sistematis, maka aparat keamanan tidak akan meragukan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan. . Kejahatan korupsi yang melibatkan warga sipil dan tentara

Pengadilan menetapkan, permasalahan terkait korupsi tidak hanya mencakup kepatuhan terhadap aturan hukum. Namun hal ini juga mencakup mengikuti instruksi aparat keamanan saat menjalankan prosedur penegakan hukum.

“Dalam situasi seperti ini, aparat keamanan harus meninggalkan budaya ragu-ragu atau ewuh pakewuh untuk melakukan kejahatan, apalagi dalam kasus-kasus yang sesuai dengan aturan hukum,” kata Arsul Zani sesuai aturan konstitusi

Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memandang perlu untuk menegaskan pasal 42 UU 30/2002.

Pasal ini menurut Mahkamah Konstitusi harus dipahami sebagai ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut, mengusut, dan menghukum tindak pidana korupsi. Sepanjang Komisi Pemberantasan Korupsi mengetahui atau menginisiasi, panitia.

Artinya jika pejabat sipil dan militer akan bersama-sama menangani korupsi. yang dikelola oleh komite anti korupsi atau sudah mulai bekerja sejak awal, komite anti korupsi akan menangani kasus tersebut. Sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Berkaitan dengan hal tersebut, terhadap tindak pidana korupsi dan orang-orang yang berada dalam sistem peradilan militer yang diidentifikasi dan ditangani oleh aparat keamanan selain lembaga antikorupsi, tidak ada tindakan yang dapat diberikan kepada lembaga peradilan tersebut. komisi antirasuah,” kata Suhartoyo saat membacakan pendapat hukum Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 berbunyi secara keseluruhan bahwa: “Komisi Pemberantasan Korupsi (PDRC) berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dan perseorangan yang dilakukan bersama-sama secara adil dan merata. keadilan, sepanjang lembaga antirasuah memulai kasusnya dari awal atau menemukannya.

Dengan kepastian tersebut, Mahkamah Konstitusi berharap tidak ada keraguan. NACC akan menggunakan kekuasaannya untuk menangani kasus-kasus pidana berdasarkan korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh pihak sipil dan militer. Sepanjang kerja penegakan hukum dilakukan sejak pembentukan komisi antirasuah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *