JAKARTA, Titik Kumpul – Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menggelar Focus Group Discussion (FGD) membahas tata cara pembagian royalti lagu dan musik di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, LMKN membahas berbagai permasalahan yang sering ditemui dalam pengumpulan dan pendistribusian karya pencipta musik yang menjadi tantangan besar bagi industri kreatif tanah air.
Presiden LMKN Dharma Oratmangun menegaskan aturan royalti musik Indonesia memang sudah memadai dan mengikat. Namun tantangan utamanya adalah lemahnya penegakan hukum dan rendahnya penghormatan terhadap hak-hak pencipta lagu dalam karya konsumen. Terus bergulir, oke?
“Selama ini data penggunaan lagu Karaoke (log sheet) yang tersedia hanya tiga lagu yaitu Happy Puppy, Inul Vizta dan Masterpiece. Pemerintah sudah mengeluarkan PP 56/2021, namun implementasinya belum terlaksana dengan baik. untuk memungkinkan “Pengumpulan royalti dan partisi belum tercapai,” kata Dharma.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, LMKN memperkenalkan sistem pembagian royalti hybrid. Alokasi data penggunaan lagu dilakukan berdasarkan tabel log. Namun apabila tidak ada log sheet, maka pendistribusiannya dilakukan melalui kesepakatan antar Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Dharma juga mengungkapkan, sistem perizinan online untuk kategori live event LMKN akan diluncurkan mulai tahun 2023 melalui website lmknbisnis.id. Sistem ini memungkinkan pengguna komersial untuk mendistribusikan biaya lisensi langsung ke kategori acara berdasarkan data penggunaan lagu acara bulanan, termasuk informasi penulis lagu.
Sebagai bagian dari upaya perbaikannya, LMKN telah mengajukan usulan perubahan hak cipta. Dharma menjelaskan, LMKN mengusulkan pembentukan pengadilan khusus untuk mengadili kasus royalti musik. Konsepnya mirip dengan pengadilan tilang, dimana pengguna yang melanggar aturan akan dikenakan denda dengan biaya yang telah ditentukan.
Saya berharap pengadilan sederhana ini dapat mencegah dan meningkatkan hak-hak konsumen, kata Dharma.
Selain itu, LMKN mengharapkan polisi tidak mengeluarkan izin umum konser musik kecuali promotor atau penyelenggara mendapat tawaran royalti lisensi dari LMKN. Dharma juga menyarankan agar pemerintah memasukkan persyaratan perizinan tersebut ke dalam sistem Online Single Delivery (OSS) bagi pelaku usaha yang menggunakan musik dalam aktivitasnya.
“Kami mendesak pemerintah mengambil tindakan serius untuk menjadikan Royal Licensing sebagai bagian integral dari perizinan berusaha,” pungkas Dharma.
Melalui berbagai langkah strategis tersebut, LMKN dapat mengumpulkan dan mendistribusikan royalti di Indonesia dengan lebih baik, memberikan keadilan kepada pencipta lagu, dan memahami pentingnya menghormati hak cipta pencipta. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dorongan positif bagi industri musik tanah air sehingga terus berkembang.