Jakarta, Titik Kumpul – Tidak sedikit umat Islam yang bepergian ke luar negeri menghadapi berbagai kendala. Apalagi saat hendak buang air kecil atau buang air kecil. Karena banyak negara tidak memiliki bidet atau alat kebersihan untuk membersihkan alat kelamin dan bokong setelah buang air besar atau kecil, di beberapa negara lebih baik menggunakan tisu kering daripada bidet.
Alhasil, banyak di antara kita yang sering membawa botol kosong dan mengisinya dengan air di wastafel untuk membersihkan diri setelah buang air kecil. Cara ini dianggap sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat bersuci secara benar (istinja) sesuai ketentuan fikih Islam. dan untuk melindungi dari cipratan kotor.
Membicarakan kamar mandi dan toilet mungkin dianggap tidak penting bagi sebagian orang. Hal ini juga berkaitan dengan Islam. Seberapa pentingkah membahas kemana urin dan feses dibuang? Lalu bagaimana hubungannya dengan prinsip Islam?
KH Abdul Muiz Ali, Wakil Sekretaris Jenderal Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengungkapkan, muncul beberapa kriteria toilet dan urinal tertentu. Jika pengguna tidak berhati-hati atau tidak mengerti cara menggunakannya Akibat yang ditimbulkan adalah urine dan feses tidak dibersihkan dengan baik atau pakaian menjadi kotor (mutanajjis) karena terkena air yang tidak bersih.
Pertama, saluran kemih merupakan daerah tanpa penghalang antara lubang saluran kemih. Penghalang ini biasa disebut penghalang urin mika-akrilik.
Yang kedua adalah toilet duduk dengan shower bertekanan tinggi yang digunakan oleh pria atau wanita.
“WC jenis ini airnya keluar dari belakang setelah alat pengontrolnya dipindahkan. Kamar mandi bergaya ini berisiko memercikkan kotoran ke mana-mana. Akibatnya pakaian dan sekitarnya menjadi kotor. (mutanajjis),” jelasnya, seperti dikutip dari situs resmi MUI.
Ketiga, jenis toilet yang digunakan: Toilet bidet dapat menyebabkan sampah berceceran dimana-mana. Ini adalah jenis yang cenderung menyebarkan kotoran.
Keempat, dalam banyak pelayanan publik Ada urinoir dengan kerusakan pada kompartemen bawah. Hal ini bertujuan agar urine tidak rusak dengan baik dan masuk ke dalam celana. Ironisnya, pengguna jasa melihat urinoirnya rusak setelah yang bersangkutan buang air besar. Ini sangat disayangkan,” katanya.
KH Abdul Muiz Ali menjelaskan hal itu sebenarnya Kemudian belum ada peraturan yang menjelaskan kamar mandi dan model kamar mandi yang memenuhi standar Islam. Ternyata masyarakat atau pengelola fasilitas umum yang ingin membangun toilet harus mempertimbangkan prinsip Islam yang memudahkan penggunanya menghindari cipratan najis.
Dari segi pentingnya fasilitas umum seperti hotel yang dinilai sesuai dengan prinsip Islam. Kita bisa membaca keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor: 108/DSN-MUI/X/2016 tentang pedoman pengelolaan pariwisata sesuai prinsip syariah.
Dalam fatwa tersebut, ia mengatakan hal itu berkenaan dengan ketentuan hotel syariah Sebagaimana dijelaskan pada Pasal 4, dilakukan ketentuan sebagai berikut, yaitu penyediaan sarana, perlengkapan, dan fasilitas ibadah yang layak. Termasuk tempat mencuci
“Dalam fatwa ini, meskipun menyangkut ketentuan Islam untuk hotel, Namun juga terkait dengan pentingnya menyediakan fasilitas kebersihan seperti kamar mandi dan fasilitas sanitasi. yang dianggap paling mencerminkan penerapan prinsip-prinsip Islam. termasuk fasilitas sanitasi dan kebersihan di hotel, bandara, tempat rekreasi, rumah sakit, perkantoran, dan tempat/fasilitas umum lainnya,” ujarnya.