Denny JA: Puisi Esai Jadikan Sastra Tak Hanya Relevan tapi Transformatif

Jakarta, Titik Kumpul – Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA, Denny JA mengingatkan kita akan kekuatan majalah sebagai majalah yang tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga emosi dan makna di baliknya.

“Dalam setiap gelombang sejarah, kertas adalah buktinya. Kadang suaranya lembut seperti suara angin, kadang keras seperti badai. Namun seringkali, ia merekam jejak-jejak jiwa manusia,” kata Denny JA.

Salah satu karya sastra adalah puisi. Menurutnya, puisi dengan keindahan bahasanya mempunyai peran penting sebagai jembatan antara realitas dan teori, antara realitas dan teori.

Oleh karena itu, ketika muncul genre sastra baru, seperti puisi esai, tidak hanya mencakup kata-kata, tetapi juga membuka bidang baru bagi seluruh pengalaman manusia.

“Topik ini menjadi salah satu pembahasan utama pada Festival Puisi Esai Jakarta ke-2 Tahun 2024, di PDS HB Jassin, TIM. Lahirnya puisi esai merupakan momen penting dalam sejarah sastra Indonesia,” ujarnya.

Generasi ini didokumentasikan dalam empat jilid dengan total sekitar 2000 halaman, masing-masing mencatat perjalanan dan kesuksesan genre tersebut.

Buku-buku ini merupakan bukti fisik sebuah gerakan penting, sebagai kompas yang menandai arah baru sastra Indonesia, sekaligus menjadi tempat perbincangan serius mengenai pembaruan estetika, evolusi sosial, dan relevansi sastra modern.

“Generasi puisi esai merupakan peristiwa unik dalam sejarah sastra yang disebut sui generis oleh kritikus sastra Jerman, Berthold Damshäuser, karena merupakan generasi pertama yang diberi nama berdasarkan genre,” ujarnya.

Menurut Berthold, jenis ini berkembang pesat dalam waktu singkat, melintasi perbatasan Indonesia hingga Malaysia, Brunei, Thailand, dan Singapura. Dia juga mencatat bahwa kata sastra seperti itu belum pernah ditemukan dan mempunyai pengaruh seperti itu.

Agus R. Sarjono menegaskan, sejak angkatan 2000, hanya puisi esai yang menjadi inovasi penting dalam sastra Indonesia. Dimulai dari buku Atas Nama Cinta karya Denny JA pada tahun 2012, genre ini telah banyak melahirkan karya yang memiliki estetika dan tema.

Agus menambahkan, konteks puisi esai melampaui semua perdebatan sastra sebelumnya, sehingga menunjukkan pengaruhnya yang besar.

Agus Sarjono adalah sosok pertama yang menandai lahirnya kekuatan puisi esai. Hal itu diungkapkannya pada Festival Puisi Esai ASEAN ke-3 di Sabah, Juni 2024.

Agus juga mengarahkan penulisan Angkatan Puisi Esai Seri 4 yang berjumlah sekitar 2000 halaman.

Jamal d. Rahman melihat masa depan kekuatan puisi esai bergantung pada generasi muda, terutama generasi yang sadar akan AI dan media sosial. Ia memuji perpaduan pendidikan yang membuka ruang bagi masyarakat dari berbagai daerah untuk menulis, sehingga menutup perbendaharaan kata dalam dunia puisi, serta mendukung penyusunan berbagai macam.

Agus melihat kekuatan puisi esai merupakan momen besar dalam sejarah sastra Indonesia. Ia menekankan bahwa genre ini memiliki keindahan yang unik: cerita yang panjang, tema sosial yang kuat, dan penggunaan catatan kaki sebagai elemen kuncinya.

Agus juga menekankan bagaimana puisi esai melintasi batas negara Indonesia, diterima di Malaysia, Brunei, dan Singapura, serta merupakan gerakan sastra yang benar-benar nasional di Indonesia.

Berthold, seorang akademisi dan pengamat sastra dari Jerman, awalnya skeptis terhadap genre ini. Namun, belakangan ia mengakui potensi keberhasilan puisi esai.

Baginya genre itu sui generis, tunggal dan tunggal. Ia mencatat bahwa tidak ada jenis sastra lain yang pernah berkembang begitu cepat dan diterima secara luas, bahkan memasuki kancah dunia, sejak pertama kali diciptakan oleh seseorang.

Dalam esai terpisah, Ahmad Gauss menunjukkan pentingnya puisi esai sebagai jembatan antara sastra dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan gayanya yang detail dan tema yang signifikan, puisi esai membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya merasa terasing dari dunia sastra.

Ia menegaskan, hal ini tidak hanya diperuntukkan bagi para penyair, tetapi juga bagi para politisi, akademisi, dan masyarakat umum, sehingga menjadikannya kelompok istimewa yang kaya akan pengalaman.

Dalam esai lainnya, Imam Kaliubi memandang Ewi Akoso sebagai ijithad sastra. Hal ini menunjukkan kedalaman penelitian yang dilakukan Denny JA sebelum memperkenalkan jenis ini, menunjukkan adanya kebutuhan masyarakat terhadap karya sastra yang penting dan mudah diakses.

Baginya, puisi esai tidak hanya indah, tetapi juga merupakan cara baru untuk menghidupkan kembali komunikasi sosial yang selama ini terabaikan oleh sastra tradisional.

Begitu pula dalam esai lainnya, Yoni memberikan contoh yang ampuh: kisah Luqmanul Hakim dan keledainya. Menurut Luqman yang tak pernah mampu menyenangkan semua orang, puisi-puisi karangannya mendapat kritik keras sejak awal kemunculannya.

Namun, ia menegaskan bahwa genre tersebut terus berkembang karena keyakinan akan kebaikan yang dibawanya. Joni juga memuji fleksibilitas Esai Puisi yang memungkinkan beragam ekspresi artistik di berbagai media, mulai dari film pendek hingga teater.

Kritik dan tanggapan terhadap pembacaan paksa

Salah satu kritik yang paling keras terhadap kekuatan puisi esai adalah genre ini dianggap terutama karena desain atau mekanismenya, dibuat dengan pendanaan yang besar dan promosi yang sistematis, sehingga tidak menunjukkan perkembangan organik sastra.

Kritikus berpendapat bahwa keberadaan kekuatan puisi esai lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik dibandingkan keaslian buatan atau respons alami lingkungan sastra.

Selain itu, penggunaan catatan kaki dan unsur teks pada puisi esai juga dianggap merusak makna puisi itu sendiri. Beberapa pengamat mengatakan bahwa genre tersebut lebih mirip esai abstrak daripada puisi sejati, sehingga penampilan puitisnya patut dipertanyakan.

Namun, argumen bahwa puisi esai Force adalah kebohongan total, tidak sepenuhnya mengingkari nilainya.

Banyak inovasi dalam sejarah sastra muncul dari rancangan terencana, termasuk pengenalan puisi modern atau gerakan sastra avant-garde.

“Keberhasilan Poem Essay Power lebih dari sekedar promosi, menunjukkan relevansinya dengan menghasilkan ratusan karya, menimbulkan perdebatan luas dan diterima di semua negara, mulai dari Malaysia hingga Singapura,” ujarnya.

Bertahannya genre ini selama sepuluh tahun membuktikan bahwa kontennya mampu melampaui kritik.

Mengenai estetika puisi, puisi selalu mengalami perkembangan. Kritik terhadap puisi esai mengingatkan kita pada penolakan terhadap puisi bebas ketika pertama kali muncul. Catatan kaki dalam puisi esai bukanlah sebuah puisi sajak, melainkan sebuah perspektif baru atas kombinasi fakta dan fantasi.

“Inovasi ini memungkinkan sastra menjadi lebih mudah diakses, menjangkau pembaca dari berbagai latar belakang dan menciptakan peluang baru untuk dialog sosial,” ujarnya.

Kini komunitas esai puisi mengadakan dua perayaan dua tahunan. Pertama, Festival Puisi Esai ASEAN yang diselenggarakan sebanyak tiga kali pada tahun 2024. Kedua, Festival Puisi Esai Jakarta yang diselenggarakan sebanyak dua kali.

Kata “puisi esai” pun menjadi kata baru dalam kamus besar bahasa Indonesia tahun 2020. Masyarakat puisi esai mulai meluas tidak hanya di Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dan ASEAN, kini juga hingga Kairo, Mesir.

Tidak berhenti di kalangan baby boomer dan milenial, kini 181 penulis Gen Z juga menulis fiksi puisi.

Kelompok penyair esai ini juga menghasilkan hampir 200 buku. Komunitas puisi esai kini telah terbentuk dengan dukungan dana hibah.

Mengapa penting untuk membuat visi tertulis?

Lahirnya Angkatan Puisi Esai tidak hanya menjadi peristiwa penting dalam dunia sastra Indonesia, namun juga menunjukkan adanya kebutuhan mendasar dalam dunia sastra. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa suatu generasi dilahirkan:

1. Mengabadikan momen dan jati diri zaman.

Generasi sastra adalah cerminan zaman. Ia tidak hanya mengabadikan karya individu, tetapi juga menggambarkan perubahan sosial, budaya, dan politik yang membentuk generasi tertentu.

Kekuatan puisi esai menjadi saksi era pasca reformasi, dimana tema diskriminasi, suara kelompok marginal, dan keadilan sosial menjadi penting.

2. Ciptakan ruang untuk komunikasi kelompok

Kekuatan sastra membuka ruang bagi para penulis untuk berinteraksi, berbagi ide, dan saling menginspirasi. Puisi esai telah memicu perdebatan luas, baik di Indonesia maupun internasional, mengenai batasan genre, fungsi sastra, dan perannya dalam masyarakat modern.

3. Menampilkan inovasi estetis untuk permasalahan sosial.

Dengan menggabungkan puisi, narasi dan fakta sejarah, puisi esai memberikan bentuk baru yang kuat. Kehadirannya memecahkan kebekuan estetika dan menciptakan pilihan baru bagi pembaca dan penulis buku.

“Dalam setiap karyanya, sastra tidak sekedar menuliskan kata-kata, tetapi melahirkan dunia baru,” ujarnya.

Kekuatan puisi esai tidak hanya pada genre baru, tetapi juga pada gerak yang menawarkan ruang kreativitas, refleksi, dan diskusi.

“Ibarat gelombang yang terus meningkat, puisi esai merupakan ajakan untuk mengeksplorasi bidang baru, menjadikan sastra tidak hanya penting, tetapi juga transformatif,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *