Titik Kumpul – Angkatan Bersenjata Federasi Rusia (VSRF) dilaporkan telah memindahkan sejumlah besar personel dan peralatan militer dari Suriah ke Libya. Situasi yang tidak menentu di Damaskus menjadi alasan pasukan Vladimir Putin mengambil langkah tersebut.
Informasi ini diungkap oleh dua pejabat AS. Para pejabat mengatakan langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan pasukan Rusia ke Libya.
Di sisi lain, militer Rusia juga terus memberikan tekanan kepada Panglima Tentara Nasional Libya (LNA), Marsekal Khalifa Haftar. Hal itu dilakukan untuk mengamankan klaim Rusia atas pelabuhan di kawasan Benghazi.
Menurut laporan Middle East Monitor yang dikutip Titik Kumpul Military, pemerintah Rusia masih belum menemukan jawaban atas berlanjutnya situasi di Suriah.
Adalah Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), kelompok oposisi yang menggulingkan rezim Bashar al-Assad dan menguasai Suriah saat ini, membuat Rusia masih memiliki akses ke pangkalan udara Khmeimim di Latakia dan pelabuhan di Tartus.
Pada 14 Desember 2024, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Mikhail Bogdanov mengklaim pihaknya telah menjalin kontak dengan kelompok Hay’at Tahrir al-Sham. Namun, tidak ada jawaban konkrit dari Bogdanov tentang masuknya dia ke tentara Rusia.
“Diplomasi (dengan HTS) berjalan konstruktif. Kami berharap (HTS) menepati janjinya untuk melindungi dari segala ekses, menjaga ketertiban dan menjamin keselamatan diplomat dan orang asing lainnya,” kata Bogdaov, menurut Titik Kumpul. Militer.
Meski Rusia berada dalam posisi genting, namun Rusia berupaya keras mempertahankan dua pangkalan militernya di Suriah. Dengan dalih memerangi organisasi teroris internasional.
Bogdanov menegaskan, kehadiran pasukan Rusia di Suriah merupakan permintaan dari pemerintah negara itu sendiri. Sebab, Daesh, kelompok teroris yang terkait dengan Negara Islam Iran dan Suriah (ISIS), masih eksis di sana.
“Pangkalannya masih ada di wilayah Suriah. Tidak ada keputusan lain yang diambil saat ini. Mereka didirikan atas permintaan Suriah dengan tujuan memerangi teroris Daesh,” kata Bogdanov.
“Saya bertindak berdasarkan gagasan bahwa semua orang sepakat dalam perang melawan terorisme. Dan apa yang tersisa dari Daesh belum berakhir,” katanya.