Ahli Sebut Penanganan Hemofilia di Indonesia Belum Optimal, Padahal Berisiko Cacat Hingga Kematian

JAKARTA – Hemofilia merupakan suatu kondisi yang membuat pendarahan sulit dihentikan. Pada kasus yang lebih parah, penderita hemofilia mungkin mengalami pendarahan spontan (pendarahan tanpa sebab yang jelas) serta pendarahan pasca-usus atau pembedahan. 

Kebanyakan penderita diabetes adalah laki-laki. Ada sekitar 400.000 pasien di seluruh dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Cari informasi lebih lanjut, yuk!

Di Indonesia sendiri ada sekitar 27 ribu pasien. Namun hingga tahun 2021, baru ditemukan 3.000 pasien dan tercatat dalam laporan tahunan Federasi Hemofilia Dunia tahun 2021.

Plt Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Dr. Dr menekankan. Novie Amelia Chozie, SpA(K), pengobatan pasien hemofilia di Indonesia kurang baik. 

“Hemofilia tergolong tidak terdiagnosis di Indonesia, dan biasanya pasien baru tertular penyakit tersebut setelah mengalami pendarahan, yang tentunya memiliki risiko komplikasi, kecacatan, bahkan kematian yang lebih tinggi,” kata dr. Novie dalam Kongres Nasional (KONAS) ke-7. ) bertajuk Pemerataan Akses untuk Peningkatan Diagnosis dan Perawatan Optimal Hemofilia dan Gangguan Pendarahan Lainnya di Indonesia yang dilakukan baru-baru ini. 

“Saat ini baru 11 persen di Indonesia yang terdiagnosis hemofilia. Banyaknya tantangan dalam mendiagnosis dan mengobati hemofilia tentu berdampak pada terjadinya komplikasi dan berdampak buruk pada kualitas hidup pasien,” lanjutnya. 

Lanjut Dr. Novie: Salah satu komplikasi serius yang bisa terjadi adalah terbentuknya inhibitor. Inhibitor sendiri dapat meningkatkan risiko perdarahan serius dan infeksi berulang. 

Berdasarkan data penelitian inhibitor di Indonesia pada tahun 2022, prevalensi inhibitor pada anak penderita hemofilia di Indonesia sebesar 9,6 persen. Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan sistem pengobatan hemofilia untuk mengurangi efek samping dan komplikasi yang dapat terjadi. dan meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya pada penderita hemofilia, dengan atau tanpa antibiotik,” jelasnya. 

Menurut Dr. Novie, hemofilia merupakan kelainan darah yang terjadi sepanjang hidup, akibat kekurangan komponen darah. Penyakit ini memerlukan pengobatan yang cepat dan tepat agar penderita dapat hidup normal. 

“Bagi kami, sangat penting untuk memperluas pengetahuan dan kapasitas tenaga kesehatan di Indonesia mengenai diagnosis dan pengobatan hemofilia secara komprehensif, termasuk multidisiplin. Sekaligus terus mengedukasi masyarakat dan pasien untuk mewaspadai hemofilia. gejala hemofilia seperti kulit mudah memar, pendarahan sulit berhenti, darah pada urine dan feses dr Novie.

Ketua Panitia Kongres Nasional HMHI, Dr. Dr juga setuju. Elmi Ridar, SpA(K). Ia menemukan fasilitas pengobatan hemofilia di Indonesia, khususnya di daerah terpencil, kepulauan, dan terpencil, masih kurang berkualitas. 

Artinya, banyak pasien yang tidak bisa diselamatkan lagi. Di Riau sendiri terdapat 142 pasien yang tersebar di seluruh provinsi, 50 persen diantaranya sakit parah. Sayangnya, belum ada pusat tes darah di Riau. Ini untuk “Tes Inhibitor harus dikirim ke Jakarta,” katanya. 

Dr mengatakan lebih banyak. Elmi mengatakan, pengendalian atau penatalaksanaan hemofilia yang utama antara lain mencegah pendarahan, mencegah penderita hemofilia berat atau empat gejala khusus, dan pengobatan pembekuan darah. Perawatan yang tepat dan lengkap akan mengurangi jumlah perdarahan dan risiko komplikasi lainnya. 

“Saat ini pemerintah mempunyai peluang untuk mengobati penyakit hemofilia melalui JKN, meski masih dalam keadaan terbatas.

Oleh karena itu, melalui KONAS, kami berharap dapat meningkatkan pengetahuan dan kapasitas tenaga kesehatan di bidang diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi pasien hemofilia. Sekaligus kami mengedukasi keluarga di Indonesia agar lebih waspada terhadap gejala hemofilia, dan mengedukasi penderita hemofilia untuk “belajar melakukan infus mandiri (self-infusion). Bagi HMHI, peran organisasi dalam mencapai tujuan umum dan berkelanjutan selalu ditingkatkan,” pungkas Dr. Elmi.

Di tempat yang sama, Shinta Caroline, Head Patient Value Access PT Takeda Indonesia, mengatakan hemofilia berdampak besar terhadap kehidupan pasien dan masyarakat. 

“Untuk itu, kami berusaha memberikan pengobatan berkualitas tinggi kepada pasien hemofilia di Indonesia dengan membuka akses seluas-luasnya terhadap obat-obatan baru kami. Sesuai dengan tujuan untuk menciptakan kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat dan masa depan dunia yang lebih baik, serta “menjalin kemitraan yang kuat dan berkelanjutan dengan mitra terkait, termasuk pemerintah, organisasi medis, organisasi penyakit, dan sektor swasta lainnya, untuk bersama-sama meningkatkan pengendalian penyakit di Indonesia. Salah satunya mendukung kinerja KONAS HMHI ke-7,” pungkas Shinta. Karolina. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *