JAKARTA – BYD (Build Your Dream) resmi memasuki pasar Indonesia pada Januari 2024, langsung menjadi merek baru penerima insentif kendaraan listrik CBU (Completely Build Up) dari pemerintah.
Insentifnya berupa pembebasan bea masuk dan PPnBM (pajak penjualan barang mewah) ditanggung negara. Oleh karena itu, kendaraan listrik BYD yang diimpor dari China mungkin akan lebih murah saat diluncurkan.
Saat ini ada tiga model yang dijual melalui PT BYD Motor Indonesia: BYD Dolphin, Atto 3, dan Seal. Namun, bantuan yang diberikan pemerintah bisa menjadi bumerang jika BYD melanggarnya.
Pasalnya, BYD harus memproduksi kendaraan listrik di dalam negeri paling lambat dua tahun, dan untuk menikmati insentif tersebut, jumlah kendaraan yang diproduksi di dalam negeri harus sesuai dengan kuota impor.
Meski waktu hampir habis, Presiden PT BYD Motor Indonesia Eagle Zhao mengungkapkan bahwa pembuat kendaraan listrik asal China tersebut pertama kali mengumumkan lokasi pabriknya pada awal bulan ini.
Eagle Zhao mengatakan, lokasi pabrik yang terletak di kawasan industri Subang Smartpolitan, Jawa Barat, yang dikelola Kota Industri Suryabuat, memiliki lahan seluas 108 hektare dan ditargetkan selesai pada awal tahun 2026.
“Kapasitas produksi kami ditargetkan 150.000 unit per tahun. Kami menargetkan total investasi lebih dari $1 miliar (yang sebelumnya dijanjikan Rp 1,3 miliar atau Rp 20 triliun) di Indonesia,” ujarnya baru-baru ini.
Pada kesempatan yang sama, Rachmat Kaimuddin, Deputi Direktur Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator dan Investasi Maritim, mengatakan pemerintah memiliki batas waktu untuk mengimpor BYD.
Katanya, “Perpres No. 79 memperbolehkan impor sampai akhir tahun 2025, tapi misalnya kita tidak bisa berproduksi pada tahun 2026, bagaimana kita melunasi utangnya?” Dia menambahkan, “Saya berharap impor bisa dilakukan pada Januari 2026 .” dikatakan.
Ia kemudian menjelaskan, impor mobil listrik BYD harus sama dengan kapasitas produksinya pada tahun depan, serta harus memenuhi TKDN (tingkat komponen dalam negeri) sebesar 60% pada tahun 2027 dan 40% pada tahun 2026.
“Jadi, kami menuntut bank garansi, bea masuk, dan PPnBM sebesar itu. Jadi, kalau kewajibannya tidak kami penuhi, insentifnya harus kami kembalikan sendiri-sendiri,” ujarnya.
Saat ditanya kendala produksi lokal oleh BYD, mengingat perlu melibatkan mitra di China dan sudah memiliki pabrik terbesar di Thailand, karyawan Luhut Binsar Pandjaitan belum bisa menjawab secara detail.
“Mungkin karena ini pertama kalinya saya masuk ke Indonesia. “Wajar saja karena kami di pihak berwenang yang mengurus regulasi sehingga mereka hanya tahu mau membeli tanah di mana,” lanjutnya.