Anggota DPD RI Soroti Kampus Merdeka Terjajah Pinjol: Memprihatinkan Bagi Kita

Titik Kumpul  – Anggota DPD RI Ust Dedi Iskandar Batubara mencatat dunia pendidikan tinggi di Indonesia “terancam” dengan adanya kerjasama kampus dengan perusahaan financial technology (fintech) untuk membayar biaya kuliah mahasiswa.

Dedi berpendapat “Pendidikan kehidupan masyarakat” yang disebutkan dalam UUD 1945 telah mereduksi nilai-nilai luhur bangsa. Apapun alasannya, Kampus Merdeka yang tergabung dalam program Merdeka Belajar merupakan upaya pemerintah dalam membekali anak bangsa dengan sumber daya (SDM) berketerampilan tinggi, unsur usaha yang sulit dilirik masyarakat khususnya dunia kampus.

“Tentu saja ini menjadi sebuah kabar yang meresahkan bagi kita, dimana penyelesaian yang seharusnya menjadi bagian dari implementasi tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan negara, justru terganggu dengan berantakannya pinjaman online yang selama ini ada. diperhitungkan. masuk kampus,” kata Dedi Iskandar kepada wartawan Kota Medan, Minggu 4 Februari 2024.

Menurutnya, akibat kerja sama Institut Teknologi Bandung (ITB) dan perusahaan fintech (pendanaan), kerusakan sistem nilai yang terjadi beberapa hari terakhir, bunga pinjaman bagi mahasiswa yang terlilit utang. Soal biaya pendidikan, khususnya peran kampus yang seharusnya menjadi tempat pendidikan, nyatanya seolah menjajah dunia pendidikan dengan kehadirannya.

“Kami ingin menyebutnya dengan ungkapan “kampus merdeka” daerah jajahan Pinjol. Karena akan menyulitkan mahasiswa atau orang tua yang tidak mampu membayar SPP karena kendala keuangan, maka bunga pinjamannya mencapai 24% per tahun”, – katanya.

Padahal, meski Dedi Iskandar Botubara berpendapat bahwa pinjaman bunga dilarang dalam ajaran Islam, namun dalam hal ini ia lebih fokus pada kebijakan kampus (rektorat) yang justru menggandeng perusahaan pinjol. Bahkan, banyak yang menjadi korban kasus pinjaman tersebut karena tidak terbayar atau tingginya suku bunga.

Menurut saya, Pasal 76 (1) Undang-Undang Republik Tajikistan “Tentang Pendidikan Tinggi” Nomor 12 Tahun 2012 mewajibkan pemerintah, badan eksekutif daerah, dan/atau lembaga pendidikan profesi tinggi untuk menjamin hak masyarakat miskin secara ekonomi. peserta didik untuk menyelesaikan pendidikan sesuai dengan kaidah pendidikan. Kemudian (2) Menerapkan hak-hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan: beasiswa bagi mahasiswa berprestasi atau biaya pendidikan yang dibayarkan setelah lulus; atau pekerjaan,” kata Dedi.

Berdasarkan peraturan tersebut, Dedi yakin pihak kampus mengambil pendekatan berbeda dalam menyelesaikan permasalahan pinjaman mahasiswa. Pasalnya, menurut Menteri Keuangan, saat ini belum ada ketentuan skema pinjaman yang sedang dipertimbangkan pemerintah untuk pinjaman mahasiswa, dimana pinjaman tersebut memiliki suku bunga yang sangat rendah.

“Menurut saya yang agak membingungkan adalah bunga yang diberikan terlalu besar. Sedangkan pinjaman umum atau usaha sebesar 10-8% per tahun, bahkan ada yang lebih rendah. “Kenapa angka ini 2-3 kali lipat untuk kebutuhan pendidikan,” kata Dedi.

Dedi menyayangkan ITB dan kampus populer lainnya merupakan institusi pendidikan tinggi ternama di Indonesia. Banyak orang yang ingin kuliah di kampus negeri itu. Oleh karena itu, tantangan yang muncul harus berusaha mengurangi atau bahkan menghentikan kolaborasi antara kampus dan perusahaan fintech. Secara khusus, peluang kerja sama dengan perusahaan perkreditan lainnya akan terbuka.

“Kalau kampus bekerjasama dengan Pinjol, itu luar biasa. Sebab apapun yang terjadi, orientasi keduanya bertolak belakang. “Jadi kalau pinjaman ini menjadi alternatif terakhir, sebaiknya pemerintah menyiapkan regulasi atau subsidi untuk pinjaman khusus mahasiswa dimana pihak kampus baik itu pihak pasif atau hanya menyetujui saja,” kata Ketua PW Al-Washlia. . Sumatera Utara.

Sebagai anggota komite pendidikan III DPD RI, Dedi juga berharap dapat mengkaji kembali kerjasama dengan perusahaan fintech yang ada di kampus, ITB, dan lain-lain, dalam pinjaman mahasiswa dengan pinjaman mahasiswa.

Karena arahan kedua lembaga ini sangat berbeda, kata Anggota DPD RI Ust Dedi Iskandar Batubara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *