Angka Kelahiran di Indonesia Turun, Apakah Gara-gara Ramai Fenomena Child Free?

VIVA Lifestyle – Belum lama ini, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengungkapkan, angka kelahiran atau kesuburan di Indonesia mengalami penurunan. Tren penurunan ini masih menunjukkan pola progresif, mencapai 2,18 dalam satu dekade terakhir.

Beberapa daerah yang angka kelahirannya mengalami penurunan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Lalu apa saja faktor yang melatarbelakangi penurunan angka kelahiran? Gulir untuk informasi lebih lanjut, datang lagi lain kali!

Ada banyak faktor yang menyebabkan menurunnya jumlah kelahiran dari sudut pandang psikologis. Karena fenomena bebas anak? Atau faktor lainnya? Psikolog Mira D Amir, SPsi menjawab pertanyaan tersebut.

Katanya, ada beberapa alasan. Berdasarkan faktor lingkungan, faktor medis, atau kedua-duanya yang saling berkesinambungan. Misalnya saja meningkatnya polusi udara dan perubahan iklim yang ekstrim dapat mempengaruhi proses pembuahan.

“Karena kualitas hidup kita juga menurun, misalnya polusi udara yang tinggi, maka permasalahan untuk hamil juga semakin meningkat. Kalau saya amati sekilas, mereka yang saat ini mengikuti promil (program kehamilan) memiliki masa yang lebih sulit dibandingkan sebelumnya. – ujarnya saat dihubungi VIVA, Selasa, 2 Juli 2024.

Hal ini juga sejalan dengan jurnal Demographia yang menyatakan bahwa suhu tinggi mempunyai dampak negatif yang signifikan terhadap kesuburan dan angka kelahiran. Penelitian juga memperkirakan bahwa kenaikan suhu akibat perubahan iklim dan gelombang panas yang lebih sering dan parah membuat kehamilan menjadi lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Fenomena bebas anak?

Selain faktor lingkungan dan kondisi kesehatan, muncul pula fenomena tidak mempunyai anak yang kemunculannya juga banyak faktor pemicunya. – Selain itu, ada fenomena orang yang sudah menikah, mempunyai pasangan hidup resmi, namun memutuskan untuk tidak memiliki anak sama sekali, tidak memiliki anak, atau menunda memiliki anak hingga siap, jelas Mira.

Ia mengatakan, banyak aspek yang harus diperhatikan ketika seseorang memilih untuk tidak memiliki anak. “Tentu faktornya berbeda-beda. Salah satunya, kalau kita sadar punya anak biayanya besar, tanggung jawabnya besar sekali. Mulai dari kebutuhan ASI (kalau bukan ASI), popok, biaya vaksinasi, konsul, persalinan. Lalu nanti biaya pendidikan, atau misalnya, “Kalau orangtuanya bekerja, anak-anaknya dititipkan pada siapa? Karena mencari pengasuh itu tidak mudah,” ujarnya.

Apalagi, menurutnya, belakangan ini bayangan PHK semakin marak. “Akhirnya banyak dari mereka (anak muda) yang menunda menikah,” kata Mira.

Selain faktor ekonomi, masalah psikologis seperti trauma masa kecil juga bisa menjadi pemicunya. Belum lagi, misalnya kondisi mereka dialami masa kecil yang tidak menyenangkan, kekerasan terhadap anak, sehingga mereka merasa tidak mampu membesarkan anak karena mereka sendiri pernah mengalami pengalaman negatif di masa kecilnya, ujarnya.

Artinya, banyak faktor yang mempengaruhi penurunan angka kelahiran. Tidak hanya fenomena tidak mempunyai anak, namun juga kondisi kesehatan, lingkungan, kualitas hidup, faktor ekonomi, dan yang tidak disorot, kasus kekerasan dalam rumah tangga (DVD) yang menimbulkan trauma bagi para korbannya, termasuk anak-anaknya.

“Keluarga Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari kekerasan dalam rumah tangga. Banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga, namun ditutup-tutupi, ditutupi dengan penampilan keluarga yang terlihat baik-baik saja, namun ternyata ada api di balik kulitnya. “

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *