JAKARTA – Data terkini Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pernikahan masyarakat Indonesia semakin menurun.
Menurut Laporan Statistik Indonesia tahun 2024, jumlah pernikahan mengalami penurunan signifikan dalam enam tahun terakhir. Namun penurunan paling signifikan terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Antara tahun 2021 dan 2023, jumlah pernikahan di Indonesia akan menurun lebih dari 2 juta. Tren ini terlihat hampir di seluruh wilayah. Misalnya, Di DKI Jakarta, hampir 4 ribu pernikahan gugur. Sedangkan di Jabar penurunannya hampir 29 ribu.
Namun, tidak semua negara bagian mengalami penurunan jumlah pernikahan. Beberapa negara bagian telah mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir.
Jika melihat data Laporan Badan Pusat Statistik tahun 2022 dan 2021, terlihat bahwa jumlah pernikahan di Indonesia terus menurun secara konsisten selama enam tahun terakhir.
Kemudian, banyak penelitian terbaru yang menemukan banyak penyebab menurunnya angka pernikahan di kalangan generasi muda, simak penjelasannya berikut ini: 1. tekanan sosial
Tekanan sosial, seperti ketakutan akan kegagalan perkawinan, mempengaruhi tingkat perkawinan; Mempengaruhi seks dan keinginan memiliki anak. Generasi muda sedang mengemudi, pindah dari rumah orang tua; Pembelajaran tentang pacaran dan pernikahan tertunda.
Faktor-faktor tersebut mungkin terkait dengan tingkat depresi yang lebih tinggi pada generasi baru, yang dapat mempengaruhi hasrat seksual.2. Distorsi Digital
Media daring; Gangguan hiburan dan media sosial membuat interaksi sosial fisik semakin jarang. Pilihan seperti streaming video dan bermain game online yang mudah diakses dapat mendorong rasa malas untuk berinteraksi di dunia nyata.
Permainan Online; Maraknya hiburan dan interaksi sosial online telah menciptakan generasi yang lebih terpaku pada aktivitas digital. Pergeseran ini dapat berdampak negatif pada hubungan di dunia nyata dan mengurangi kepuasan hubungan.
Aplikasi kencan dan budaya kencan kilat; sambil menawarkan lebih banyak pilihan; perilaku kasar; Ada tantangan seperti kecemasan dan depresi di kalangan pengguna dengan konten tertentu 3. Perubahan prioritas dan arah karir
Generasi milenial cenderung memprioritaskan karier dibandingkan pernikahan. Ketika persaingan untuk mencapai kesuksesan profesional dan tujuan pribadi menjadi semakin penting, banyak orang melihat pernikahan sebagai potensi hambatan dalam usaha mereka.
Bentuk perkawinan tradisional diasumsikan membutuhkan pengorbanan yang besar, dan kaum muda mungkin enggan melakukan pengorbanan tersebut ketika mereka sedang dalam proses penemuan jati diri.4. Takut akan komitmen.
Gagasan tentang komitmen dalam pernikahan bisa menjadi hal yang menakutkan bagi generasi muda. Ketakutan akan kehilangan otonomi dan kemandirian merupakan faktor penting.
Budaya kencan kilat, di mana hubungan bersifat sementara dan sering kali berfokus pada kepuasan seksual, kontras dengan emosi abadi yang terkait dengan pernikahan. Komitmen dapat dilihat sebagai ancaman terhadap kebebasan pribadi.5. Mengubah konsep kebahagiaan dan kepuasan.
Penelitian menunjukkan bahwa generasi muda percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan. Mengejar kebahagiaan dan kepuasan pribadi lebih diutamakan daripada ekspektasi masyarakat terhadap pernikahan.
Tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi dapat menurunkan minat dalam membangun hubungan yang langgeng karena individu fokus pada kesejahteraan dan pengalaman hidup mereka sendiri.
Meskipun faktor-faktor ini berkontribusi terhadap kecenderungan menghindari atau menunda pernikahan, penting untuk dicatat bahwa pandangan individu berbeda-beda dan sikap masyarakat terhadap pernikahan terus berkembang.