JAKARTA, Titik Kumpul – Pelaku usaha industri rokok elektrik memprotes adanya rancangan peraturan kesehatan tentang keamanan produk tembakau dan rokok elektrik (RPMK) yang mengatur secara ketat syarat kemasan polos tanpa merek.
Aturan tersebut, yang bertentangan dengan Peraturan Kesehatan dan Masyarakat (PP) 28 Tahun 2024 dan UU Nomor 17 Tahun 2023, akan semakin melemahkan kinerja industri rokok elektrik dan mengakibatkan hilangnya pendapatan pemerintah dan hilangnya lapangan kerja di industri tersebut, terutama bagi sektor Mikro, Usaha Kecil dan Menengah (UMKM).
Ketua Asosiasi Vapor Swasta Indonesia (APVI) Bodianto mengatakan RPMK akan sangat berdampak pada seluruh lini industri rokok elektrik. Sebab, kebijakan tersebut mendorong tumbuhnya pasokan pasar rokok elektrik ilegal yang tidak memiliki pita cukai.
Keberlanjutan industri rokok elektrik, atau disingkat “REL”, semakin mendapat tekanan karena pemerintah menghadapi hilangnya pendapatan dari produk tersebut. Lanjutkan menelusuri seluruh artikel di bawah ini.
Industri REL secara langsung menarik lapangan kerja dan memberikan kontribusi terhadap pendapatan industri terkait seperti industri kreatif yang terkena dampak peraturan ini.
“Kami kurang setuju dengan peraturan ini, industri rokok elektrik tidak hanya menjadi solusi alternatif untuk mengurangi risiko kecanduan, namun industri rokok elektrik juga mencakup industri kreatif, pembuat konten, dan bahan baku. Peraturan kemasan lainnya juga demikian. ketat dan akan membatasi inovasi dalam industri kreatif.
Budyanto menegaskan, kebijakan pemerintah harus dilihat dari perspektif holistik dan bukan hanya dari perspektif pertahanan. Pasalnya, industri rokok elektrik banyak membantu dalam menciptakan lapangan kerja baru dan pendapatan bagi pemerintah.
Industri rokok elektrik dapat berpartisipasi dalam misi ambisius pemerintah baru untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 8 persen, asalkan didukung oleh regulasi yang mendorong dunia usaha.
“Industri rokok elektrik memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan. Namun, regulasi yang ada saat ini justru mengancam pertumbuhan industri ini. Kami berharap pemerintah dapat bersama-sama mereformasi regulasi tersebut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang luas dan berkelanjutan.”
Di kesempatan lain, Hari Prasetio, Pakar Hukum Administrasi Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), menjelaskan keberadaan RPMK diharapkan memperkuat ketentuan yang tertuang dalam UU Kesehatan 17 Nomor 2023, PP 28/. 2024, jangan membuat undang-undang yang bertentangan antara keduanya.
Berbicara mengenai kemasan polos tanpa merek kemungkinan besar akan menimbulkan permasalahan baru seperti persaingan dagang, permasalahan perlindungan konsumen, permasalahan hak kekayaan intelektual (IPR) dan pengendalian tembakau tanpa persetujuan, ujarnya.
Menurut Hari, aturan kemasan polos tanpa branding sepertinya dipaksa Kementerian Kesehatan untuk dimasukkan ke dalam aturan RPMK yang berasal dari PP 28/2024.
Alih-alih mempertimbangkan profil risiko, pemerintah hanya berfokus pada peraturan pengemasan yang sederhana.
“Ini bukan langkah bijak yang dilakukan pemerintah. Upaya lebih lanjut harus dilakukan untuk memastikan pendidikan yang memadai bagi masyarakat umum,” tambahnya.
Hari juga menekankan pentingnya partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam penyusunan regulasi yang berdampak langsung pada pelaku usaha.
Sambil memberikan kontribusi kepada negara dalam hal lapangan kerja dan pendapatan produk, tujuannya adalah untuk menghindari kerugian di satu sisi.
Oleh karena itu, peraturan tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat luas, khususnya para pekerja yang bergantung pada keberlanjutan industri REL dalam negeri.
“Pelaku komersial tertekan dan masyarakat tidak diuntungkan. Siapa yang harus mendapatkan aturan ini? Cukai efektif dan pasokan rokok ilegal pasti tetap ada. Kenapa Kemenkes sendiri yang membuat aturan rumit? Benarkah?” Hari