JAKARTA – Wilayah Demak di Jawa Tengah dilanda banjir besar hingga menjadi lautan karena intensitasnya yang ekstrem.
Munculnya berbagai spekulasi mengenai kemunculan kembali Selat Muria dan bencana yang terjadi di sana, diyakini terkait dengan ramalan Jayabaya.
Dalam ramalannya, Jayabaya meramalkan bencana alam dahsyat seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan luapan sungai di Pulau Jawa. Oleh karena itu, kejadian banjir di Damak ada kaitannya dengan ramalan tersebut.
Dalam makalah Ahmad Abu Hamid yang berjudul “Ramalan Jayabaya: Akankah Menghambat Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir”, Jayabaya pernah meramalkan bahwa “Jawa Pulo Hancurkan Dadi Loro” (Pulau Jawa terbelah dua akibat bencana yang tidak terduga). .
Dari ramalan tersebut diartikan bahwa akan terjadi bencana dahsyat yang akan membelah Pulau Jawa, sehingga hanya separuh penduduknya yang selamat.
Beberapa pihak mengaitkan meningkatnya aktivitas Gunung Slamet dengan ramalan tersebut, yang menyatakan bahwa letusannya dapat membelah Pulau Jawa.
Banjir Demak juga dikaitkan dengan ramalan Jayabaya, khususnya spekulasi kemungkinan munculnya kembali Selat Muria.
Di Desa Negemplik Wetan, Dukuh Tugu, Kecamatan Karanganyar, tanggul sungai irigasi Zaratun Seluna menyebabkan banjir Demaku kembali pecah pada Minggu, 17 Maret 2024 sore.
Ketika jumlah tanggul yang jebol meningkat, banjir pun semakin parah. Sedikitnya 88 desa terendam banjir yang memaksa puluhan ribu warga mengungsi.
Kembalinya Selat Muria yang hilang akibat kekeringan tidak diantisipasi. Selat Muria merupakan selat yang pernah menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Muria.
Selat ini dulunya merupakan kawasan perdagangan yang sibuk dengan kota-kota perdagangan seperti Demak, Jepara, Pati dan Juwana.
Sekitar tahun 1657, sedimen sungai yang mengalir melalui selat ini terbawa ke laut, sehingga selat tersebut mengecil dan menghilang, sehingga Pulau Muria menyatu dengan Pulau Jawa.
Selama Zaman Es, sekitar 600.000 tahun yang lalu, Gunung Muria dan bukit-bukit kecil Patiam bergabung dengan dataran utama Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena suhu bumi mengalami penurunan dalam jangka waktu yang lama pada saat itu.
Jadi permukaan laut turun rata-rata 100 meter. Namun, situasinya berbalik pada periode interglasial. Ketika suhu bumi meningkat, es mencair.
Akibatnya jumlah air laut semakin banyak, sehingga dataran Gunung Muria dan Pulau Jawa dipisahkan oleh laut dangkal yang ukurannya tidak cukup untuk membentuk selat.
Selat Muria merupakan jalur perdagangan dan transportasi yang sibuk. Selat tersebut merupakan jalur antara masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa dengan masyarakat yang tinggal di pulau lain.
Bagi yang ingin melakukan perjalanan antara Qudus dan Damak melalui jurang ini harus menggunakan perahu. Keberadaan selat ini pula yang menjadikan kerajaan Demak sebagai kerajaan maritim.
Keberadaan selat ini juga menjadikan kawasan Selat Muria sebagai lokasi galangan kapal yang memproduksi perahu jukung Jawa berbahan dasar kayu jati yang banyak ditemukan di pegunungan Kendeng yang terletak di sebelah selatan selat.
Adanya industri pembuatan kapal membuat wilayah tersebut lebih kaya dibandingkan pusat kerajaan Majapahit, sehingga wilayah tersebut didominasi oleh para saudagar muslim yang dijuluki “pemilik kapal terlantar” oleh Tome Pires (penulis Portugis).
Namun kebenaran ramalan Jayabaya dan bencana tersebut mengubah keyakinan masing-masing individu. Sebab, Anda harus mengikuti kehendak Tuhan Yang Maha Esa.