BPA di Air Galon Tak Terbukti Sebabkan Gangguan Kesehatan, Ahli Ungkap Faktanya

VIVA, Jakarta – BPA (Bisphenol A) sering kali terdapat pada barang-barang di sekitar kita dan sering kali kita terpapar padanya. Tidak hanya digunakan pada kemasan makanan, tetapi juga pada barang lain seperti kertas thermal yang digunakan pada kertas ATM atau struk belanja, CD, alat olah raga, bahkan alat kesehatan seperti kateter dan tambalan gigi.

Belakangan ini BPA kerap dituding menimbulkan risiko gangguan kesehatan. BPA diduga merupakan pengganggu endokrin yang meniru estrogen, memicu pubertas dini pada anak perempuan, dan memengaruhi prostat. Apakah ini benar? Scroll untuk menemukan jawabannya, yuk!

Profesor Ph.D. bidang rekayasa proses pengemasan pangan di Institut Teknologi Pangan IPB. Nugraha Edhi Suyatma (S.T.P., DEA) menjelaskan BPA merupakan bahan baku pembuatan plastik polikarbonat dan epoksi.

“BPA diolah bersama bahan lain menjadi polikarbonat. Jika dibuat dari polikarbonat maka menjadi bahan yang kuat. Hampir tidak ada kandungan BPA dan residunya tidak mudah pecah,” kata pakar polimer di Jakarta itu. diskusi ahli dengan jurnalis kesehatan yang digelar di Forum Ngobras, mengutip pernyataan Selasa 24 September 2024.

Selanjutnya, Profesor. Nugraha menjelaskan sisa BPA pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru hanya akan bermigrasi dalam kondisi ekstrim.​

“Polikarbonat sangat tahan panas, titik lelehnya 200 derajat Celcius. Kalau misalnya proses pengiriman terkena suhu tinggi dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan melebihi 50 derajat. sangat kecil,” jelas Profesor Nugla ha.

Masalah Bahaya Kesehatan BPA: Tidak Terbukti Secara Ilmiah

Dijelaskan oleh pakar penyakit dalam Dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, Pedoman Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Evidence Based Medicine. Bukti ilmiah tingkat tertinggi adalah studi meta-analitik.​

“Studi meta-analisis menyatukan hasil penelitian yang berbeda dan kemudian menganalisisnya kembali untuk melihat seperti apa hasil penelitian yang ada,” jelas pakar endokrinologi dan metabolisme ini.

Sintesis data harus didasarkan pada penelitian pada manusia, bukan percobaan pada hewan di laboratorium, lanjutnya.​

“BPA sengaja diberikan dalam dosis yang sangat besar, sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan laboratorium,” kata Dr. Ashwin.

Padahal, menurutnya, BPA sama sekali tidak masuk dalam pedoman apa pun.​

“Belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. Yang ada hanya penelitian di laboratorium dengan hewan percobaan,” ujarnya.

Profesor itu juga menyatakan hal yang sama. Nugraha. Menurutnya, penelitian mengenai BPA tidak konsisten dan tidak cukup kuat. Lanjutnya, penelitian di Makassar menemukan uji migrasi BPA pada kemasan makanan berkisar antara 0,0001 hingga 0,0009 mg/kg, jauh di bawah batas BPOM sebesar 0,05 mg/kg.​

Selain itu, hasil peneliti ITB menunjukkan bahwa BPA tidak terdeteksi pada satu galon empat merek yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Bahkan dengan peralatan paling sensitif sekalipun, hasilnya tidak terdeteksi, jelasnya.

TDI yang ditetapkan (asupan harian yang ditoleransi) adalah 4 mg/kg berat badan. Misalnya berat badan (BB) Anda 75 kg, maka batas maksimal asupan BPA harian adalah (4 x 75) = 300 mg. Kalaupun BPA ditemukan di air minum, kadarnya hanya 1/1.000.​

“Dibutuhkan 10.000 liter air dalam satu minuman agar kandungan BPA melebihi batas aman. Itu tidak mungkin,” kata Dr. Ashwin.

Fakta lainnya adalah tubuh kita memetabolisme berbagai bahan kimia, termasuk BPA. BPA yang tidak sengaja masuk ke dalam tubuh akan dikeluarkan dan tidak menumpuk di dalam tubuh.​

“Rantai BPA dapat dipecah oleh hati dan dikeluarkan dari tubuh melalui saluran pencernaan melalui usus. Ada pula yang masuk ke ginjal dan dikeluarkan melalui urin,” jelasnya.

Peraturan batas keamanan BPA di berbagai negara

Misalnya, nilai referensi EMA (European Medicines Agency) dan BfR (German Federal Institute for Risk Assessment) lebih tinggi, yaitu 50 mikrogram/kg berat badan per hari. BfR membatasi asupan harian hingga 0,2 mikrogram/kg berat badan. Sekadar referensi, 1 mikrogram = 1.000 nanogram. Oleh karena itu, jika dikonversi ke nanogram, TDI untuk Jerman adalah 200 nanogram/kg berat badan/hari.

Di Indonesia, belum ada batas toleransi aman atau TDI terhadap BPA, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan batas migrasi BPA sebesar 0,05 mg/kg. Hal ini sesuai dengan ketentuan Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan.

Bersertifikat Ph.D. Aswin, pertanyaan mengenai BPA yang menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, kemandulan, dan lain-lain adalah mitos yang menyesatkan.​

“BPA bukan penyebab penyakit-penyakit tersebut. BPA bukan penyebab diabetes, tapi penurunan sekresi insulin akibat gaya hidup dan usia yang buruk,” jelas Aswin.

Begitu pula dengan penyakit kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya. PhD. Profesor Aswin. Nugraha mengingatkan kita untuk tidak mudah percaya pada rumor, kita tidak bisa mempercayai kebenaran.​

“Jangan khawatir dengan isu seperti ini. Meski BPA belum tergolong karsinogen, namun masih banyak bahan kimia yang lebih berbahaya, seperti asap rokok. Pilihlah informasi yang tepat dengan bijak. Jadi jangan khawatir jika tidak mau minum. air. “Kehidupan yang baik,” kata Dr. .Ashwin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *