JAKARTA – Selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI memperkuat pengawasan pangan di 2.208 perusahaan. Penguatan pengendalian pangan yang dilaksanakan mulai 4 Maret 2024 menyasar 920 pusat penjualan modern, 867 pusat penjualan bea cukai, 386 gudang, 28 gudang, dan gudang e-commerce.
Dari 2.208 hibah tersebut, BPOM RI menyita 188.640 produk pangan kemasan kadaluarsa dan rusak.
Wakil Kepala BPOM RI L Rizka Andalusia mensinyalir, kegiatan pengawasan ini fokus pada produk pangan kemasan yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) yakni tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kadaluarsa, rusak, dan jajanan buka puasa takjil yang mengandung bahan terlarang. bahan-bahan.
Hasil pemeriksaan, kami menemukan 628 fasilitas (28,44 persen) yang menjual produk TMK berupa TIE, pangan kadaluarsa, dan pangan mudah rusak, serta 188.640 menerima pangan TMK yang nilainya diperkirakan lebih dari 2,2 miliar. dalam keterangan tertulisnya yang dikutip di situs resmi BPOM.
Hasil pemantauan menunjukkan hasil positif yaitu terjadi penurunan jumlah fasilitas TMK sebesar 13,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya (723 fasilitas). Penurunan ini sejalan dengan upaya penguatan penjualan pasca BPOM melalui pembinaan pelaku usaha dalam menerapkan Cara Distribusi Pangan yang Baik (CPerPOB).
Jenis makanan yang paling banyak ditemukan adalah makanan “TIE” sebesar 49,03 persen. Produk ini tersedia secara rutin di operasional UPT di Tarakan (Kalimantan Utara), Pekanbaru, Palopo (Sulawesi Selatan), Banda Aceh dan DKI Jakarta. Produk TIE meliputi coklat bubuk, bumbu, permen, minuman bubuk, dan biskuit.
Kemudian, deteksi makanan kadaluarsa sebanyak 31,89 persen (60.151 buah) di wilayah kerja UPT di Manado (Sulawesi Utara), Palopo (Sulawesi Selatan), Belu, Kupang dan Ende (Nusa Tenggara Timur). Produk kadaluarsa antara lain agar-agar/puding, minuman bubuk, rempah-rempah, bahan tambahan makanan (BTP), dan mie/mie.
Sedangkan makanan basi sebanyak 19,09 persen (36.006 potong) ditemukan di operasional UPT di Semarang (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Belu (NTT), Sofifi (Maluku Utara), dan Palopo (Sulawesi Selatan). . Produk pangan basi tersebut antara lain olahan ikan kaleng, pasta/pasta, produk gula rendah (susu/krim), susu ultra panas (UHT)/steril, dan BTP.
“Produk-produk luar negeri itu banyak ditemui di daerah perbatasan seperti Tarakan, Pekanbaru, dan Banda Aceh. Hal ini menunjukkan masih adanya cara-cara ilegal dan pengawasan lintas sektoral. Apalagi produk ekspor TIE banyak ditemukan di berbagai tempat. “Orang Asing (WNA) tinggal di tempat seperti Jakarta dan Palopo. Karena tingginya permintaan terhadap produk-produk tersebut,” ujarnya lebih lanjut.
Hasil administrasi ini telah ditindaklanjuti oleh BPOM dengan mengambil tindakan untuk menangani pelaku usaha yang melanggar hukum. Pemantauan ini mencakup memastikan keamanan dan ketertiban pengembalian/pengembalian produk kepada pemasok produk TIE, serta pemusnahan produk yang rusak dan kadaluwarsa.
Selain pemantauan langsung terhadap lembaga, BPOM juga melakukan pemantauan secara daring melalui patroli siber. Dari hasil patroli online pada peningkatan penertiban tahun ini, ditemukan 17.586 link yang menjual produk TIE di platform e-commerce dengan nilai ekonomi lebih dari 31 miliar. BPOM berkoordinasi dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) untuk menghapus konten dari tautan yang teridentifikasi menjual produk TIE.
Untuk menambah pengetahuan para pelaku usaha dan menekan peredaran pangan TIE, BPOM berperan aktif dalam melakukan pengorganisasian para pelaku usaha, termasuk Usaha Kecil Menengah (UMK) melalui pemenuhan syarat registrasi produk pangan olahan. Masyarakat diimbau untuk tidak membeli produk TIE dan beralih ke produk dalam negeri yang aman dan berkualitas. Hal ini penting untuk melindungi kesehatan dan mendukung perekonomian nasional.