Diplomasi Stadion Tiongkok, Eksploitasi Ekonomi atau Kemitraan Murni di Afrika?

VIVA – Diplomasi stadion China menjadi perhatian serius dunia internasional. Melalui diplomasi, Tiongkok mampu memanfaatkan sumber daya alam negara-negara Afrika untuk kepentingannya sendiri.

Meskipun para pendukungnya memuji upaya Tiongkok untuk meningkatkan moral negara-negara Afrika melalui infrastruktur olahraga, para kritikus justru menyuarakan keprihatinan serius tentang motivasi yang mendasari dan hasil jangka panjang dari inisiatif ini. Mereka menggambarkan diplomasi stadion Tiongkok hanya sebagai taktik “manuver strategis”.

Dilansir pmldaily, Jumat 5 April 2024 China sejauh ini telah membangun lebih dari 100 stadion di seluruh Afrika. Negara ini diposisikan sebagai mitra penting dalam modernisasi olahraga di benua tersebut. Meningkatnya keterlibatan Tiongkok dalam proyek-proyek konstruksi baru-baru ini mencerminkan semakin besarnya pengaruh Beijing di benua ini. Tiongkok telah menggunakan Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) sebagai kerangka kerja pembangunan infrastruktur

Kisah Stadium Diplomacy menggambarkan Tiongkok sebagai pemain yang baik dalam memberikan bantuan kepada negara-negara Afrika yang menghadapi kekurangan infrastruktur. Proyek seperti Stadion Alassane Ouattara di Pantai Gading dan Stadion Laurent Poco di San Pedro dipuji sebagai simbol komitmen Tiongkok terhadap kerja sama dan kemitraan. Namun, di baliknya terdapat jaringan perhitungan ekonomi, politik, dan strategis yang rumit.

Selain berpartisipasi dalam proyek Kotara di Pantai Gading, Tiongkok juga terlibat dalam pembangunan venue olahraga lainnya. Di San Pedro, Stadion Laurentian Poco dibangun oleh China Civil Engineering Construction Corporation. Pada saat yang sama, China National Construction Materials Group (saat itu milik negara) menjabat sebagai kontraktor umum untuk Stadion Amadou Gon Koulibaly di Kurugo.

Afrika merupakan sumber bahan mentah yang membantu mendukung pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan dominasi global dalam manufaktur baterai dan telekomunikasi.

Salah satu kekhawatiran utama yang diangkat oleh kelompok skeptis adalah masalah keberlanjutan utang. Negara-negara Afrika, yang tertarik dengan fasilitas olahraga modern, seringkali berhutang banyak kepada pemberi pinjaman Tiongkok. Model pembiayaan yang diadopsi oleh Tiongkok, yang mencakup pinjaman lunak untuk sumber daya dan kesepakatan infrastruktur, menimbulkan pertanyaan mengenai biaya sebenarnya dari proyek-proyek ini dan implikasinya terhadap kedaulatan nasional.

Dominasi Tiongkok dalam diplomasi stadion ditantang oleh negara-negara berkembang, terutama Arab Saudi dan Qatar, yang mencari pengaruh di Afrika melalui diplomasi olahraga. Masuknya negara-negara Teluk ke dalam kancah olahraga Afrika menambah kompleksitas bidang olahraga yang sudah penuh sesak ini.

Rencana ambisius Arab Saudi untuk berinvestasi dalam infrastruktur sepak bola dan memposisikan dirinya sebagai pusat sepak bola global “Afro-Eurasia” menandakan fase baru persaingan di wilayah tersebut.

Berdasarkan pengalamannya sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 dengan Qatar membangun kemitraan di Afrika, dinamika geopolitik diplomasi stadion sedang mengalami perubahan signifikan.

Tiongkok juga memiliki saingan strategis seperti Arab Saudi yang juga menginginkan diplomasi sepak bola. Arab Saudi ingin mengubah perekonomiannya, salah satunya dengan menginvestasikan ratusan juta dolar dalam bidang olahraga. Arab Saudi berencana menjadikannya pusat sepak bola internasional ‘Afro-Eurasia’. Baca artikel trending menarik lainnya di tautan ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *