Dokter Tirta Bongkar Sisi Gelap Profesi Dokter, Sengsara!

Jakarta, Titik Kumpul – Kasus bunuh diri Olia Risma Lestari menghebohkan publik. Dia ditemukan tewas di ruang tamunya. Diketahui, dokter muda tersebut mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip). 

Melansir Titik Kumpul News (16/8/2024), polisi setempat mengumumkan Olya ditemukan tewas setelah muntah obat pelemas otot. Kecurigaan kemungkinan dokter bunuh diri diperkuat oleh buku Olya

Dia menulis keluhan tentang orang yang lebih tua dan bahwa dia tidak dapat lagi menjalani hari-harinya. Olya mengakui ada beban fisik yang sangat besar. Dia berulang kali menulis kata “sakit” di buku catatannya. 

Dokter Tirta seolah setuju dengan pengakuan Olya, ia pun mengungkapkan hal serupa. Dr Tirta menyadari, menjadi dokter itu menyakitkan.

“Sebenarnya waktu itu (setelah kuliah kedokteran) saya baru tahu, menjadi dokter kalau tidak menjadi ahli itu memalukan. Dan kalau tidak menjadi ahli lahan basah pun, itu juga menyakitkan,” kata Dr. Ucap Tirta saat podcast bersama Feni Rose yang diunggah oleh akun TikTok @Podcast Viral Update.

Diakui dr Tirta, keberhasilan profesi dokter sangat sulit dan pengembangannya membutuhkan waktu yang sangat lama. Dokter jebolan Universitas Gadjah Mada ini mengatakan perjuangan dokter ibarat lari maraton.

“Prosesnya seperti lari maraton. Latihannya sangat lama dan prosesnya juga lama,” kata Dr. Tirta.

“Setelah lulus generalis, harus magang. Setelah kerja, gajinya dikurangi dan lima tahun lagi harus bekerja keras untuk menjadi spesialis bisa bekerja di area basah,” imbuhnya. 

Pria yang masuk Islam ini menjelaskan, arti rawa adalah kemampuan bekerja di lingkungan dekat keluarga atau bekerja di rumah sakit di Pulau Jawa. 

“Tapi kalau mau tantangan bisa ke posisi ketiga yang sangat menegangkan dan jauh dari keluarga,” kata dr Tirta.

Dokter berusia 33 tahun ini menceritakan kisahnya saat menjadi asisten pada tahun 2014. Saat itu, ia tengah menjalani program BPJS kesehatan yang baru pertama kali dilaksanakan. 

“Waktunya ramai banget, antrean BPJSnya panjang. Jadi saya lihat ketidakpastiannya, dan wah, saya takut banget,” ujarnya.

Dalam pikirannya, begitu dia menjadi dokter umum, semuanya sudah berakhir. Dimana anda akan bekerja di sebuah puskesmas dan mengambil SIP dan langsung mendapat penghasilan 30-40 juta. 

“Jelas tidak,” kata dr Tirta.

Saat itu sisanya masih 100-150 ribu per hari. Per diem adalah gaji yang diterima dokter untuk suatu shift. 

Para dokter kerap mengeluhkan gaji yang tidak sepadan dengan perang karena dianggap terlalu rendah. Namun masyarakat dan pihak lain tidak menerima hal tersebut dan berpendapat bahwa ini adalah pelayanan yang seharusnya dilakukan oleh dokter.

Mengetahui kabar duka tersebut langsung membuat dr Tirta kesal. Menurutnya, dokter juga merupakan orang yang membutuhkan pangan dan uang untuk memenuhi kebutuhan kesehatannya. 

“Kita butuh uang untuk makan ya, kita pekerja, tapi kalau kita mengeluh soal uang, selalu ada rasa aman, ‘Kamu kerja, kamu belum siap, kenapa ganti dokter?’

Dari sana ia memutuskan bahwa pekerjaan sebagai pengajar dan dokter di Indonesia harus dibayar dengan upah yang rendah. Padahal, kebijakan rumah sakitlah, bukan kebijakan dokter, yang menentukan murah atau mahalnya biaya pelayanan kesehatan. 

“Bayarnya lebih banyak, dokternya mendapat lebih sedikit,” kata dr Tirta.

Adapun netizen mengatakan kepadanya bahwa ada dokter yang kaya dan sukses. Dokter dari Yujia langsung menolak dan meneliti latar belakang keluarganya.

Ia menjelaskan, “Sebelum bertanya berapa umurnya, tanyakan dulu siapa ayahnya. Kalau dia berasal dari keluarga biasa, pekerjaannya biasa saja. Dia tidak akan terlalu menarik, tidak, tapi dia setia.”

Penderitaan dokter semakin bertambah ketika ia menjadi pekerja yang wajib mengajar dan melakukan ini dan itu. Dokter juga wajib mengikuti pelatihan. Meskipun ada seminar gratis, namun total biaya partisipasinya sangat mahal. 

“Jadi gajinya berat, harus nabung ke ahli, harus bangun rumah, tetap wajib ikut pelatihan dan harus dinaikkan setiap lima tahun,” pungkas Dr Tirta. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *