dr Tirta: Nilai IPK Tinggi Tidak Penting, Kesuksesan Ditentukan Empat Faktor

Titik Kumpul – Nasihat dari Dr. Tirtha mengatakan, IPK yang tinggi tidak penting menjadi topik pembicaraan di X. Menurutnya, ada beberapa faktor lain yang mendukung kesuksesan manusia. 

Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK merupakan ancaman yang menakutkan bagi setiap mahasiswa. Sebab masih banyak orang yang beranggapan bahwa IPK berpengaruh besar terhadap kesuksesan seseorang. Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi mahasiswa untuk sering menghalalkan berbagai cara untuk mencapai IPK yang tinggi. Harapannya, setelah lulus nanti akan lebih mudah mencari pekerjaan. 

Dr Tirta menolak stereotip tersebut. Menurutnya, IPK tidak ada hubungannya dengan diskusi sebagai penentu keberhasilan. IPK juga tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. 

Ia meyakini IPK hanyalah salah satu bentuk akuntabilitas selama kuliah. Itu bahkan tidak mempengaruhi kinerja. 

Pria kelahiran 1991 ini mengatakan kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh tingginya IPK. Namun hal tersebut dipengaruhi oleh empat faktor yaitu jaringan, hubungan kerja, keistimewaan dan keberuntungan. 

“IPK itu angka paling bawah, kalau mau IPK 3,9 tapi jarang berhenti (bersosialisasi) dan diam di rumah, tidak ada informasi master (pekerjaannya), lalu IPKnya berapa? podcast Praz Teguh- bersama dengan

Dr Tirta mencontohkan Gibran Rakabumingraka yang kini menjabat Wakil Presiden sebagai contoh orang yang IPKnya rendah tapi bisa sukses. Meski IPK putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini tidak terlalu tinggi, namun kariernya sukses di dunia politik dan kewirausahaan. 

Artinya, meski IPK 2,5 atau 2,7, tidak akan menghalangi cita-citamu ke depan,” tegasnya.

Lulusan kedokteran Universitas Gajah Mada ini mengaku memiliki keistimewaan yang membantunya menjadi dokter dan mengejar gelar master di ITB. Sebab, orang tuanya adalah mantan guru. 

Fenomena keistimewaan untuk menunjang karir seseorang tidak hanya terjadi pada dirinya atau Gibran Rakabumingraka. Faktanya, hal serupa juga dialami oleh masyarakat sekitar. Namun, kita terlalu malas untuk mengakuinya. 

“Apa yang dialami Gibran sebenarnya relevan dengan apa yang kita alami di sekitar kita,” kata Dr. Tirta.

Oleh karena itu, dokter asal Surakarta ini berpendapat, jika ia tidak mempunyai keistimewaan, sebaiknya ia memberikan “keistimewaan” tersebut kepada anak-anaknya.

“Pilihan generasi ini hanya ada dua, penerus dan pionir,” tutupnya. 

Menurutnya, masih banyak lulusan yang tidak bekerja karena kekurangan keempat faktor tersebut. Dokter yang terkenal pemarah ini juga mengungkapkan, dirinya tidak pernah ditanya soal IPK selama menjabat sebagai HRD.

“Yang ditanyakan HRD adalah: kuliah di mana, berapa tahun, dan pengalaman apa,” tambah Dr. Tirta. 

Lebih lanjut pria bermata sipit ini menjelaskan, pembahasan mengenai IPK hanya akan relevan jika mencakup tiga topik saja. 

Pertama-tama, petugas kesehatan. Bagi para profesional kesehatan, IPK yang tinggi merupakan ukuran seberapa baik mereka menyerap pengetahuan. Nilai yang tinggi menunjukkan bahwa seseorang menguasai ilmu kesehatan dengan baik sehingga dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat. Sedangkan jika IPKnya rendah, ada risiko salah diagnosis yang justru bisa membahayakan pasien. 

Kedua, profesi guru, guru atau guru. Sebab, jenis karir ini berperan dalam menularkan ilmu yang diperolehnya kepada orang lain. IPK yang tinggi menunjukkan bahwa seorang lulusan mempunyai wawasan yang baik sehingga dianggap mampu menyampaikan konsep akademik secara terpadu. 

Peneliti berada di posisi ketiga. Profesi seorang peneliti sudah selayaknya mempunyai nilai yang tinggi karena bertugas melakukan pengamatan terhadap suatu inovasi. Peneliti juga hendaknya mempublikasikan dalam jurnal ilmiah sebagai acuan penelitian untuk membuktikan suatu kebenaran secara ilmiah. 

“Selebihnya seperti akuntan, arsitektur dan lain-lain, pernah ditanya IPKnya, yang penting pengalaman,” ujar Dr. Tirta. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *