Jakarta, Wiwa – Dalam dua tahun terakhir, masyarakat dikejutkan dengan terkontaminasinya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada sirup. Anak-anak mengalami gagal ginjal akut progresif yang khas akibat polusi ini.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah korban gagal ginjal akut heterogen heterogen sebanyak 312 korban. Dari total tersebut, 218 korban meninggal dunia dan 94 korban dinyatakan sembuh/rawat jalan.
Selain produsen obat atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) juga menjadi fokus dalam insiden ini. Sebab, BPOM dinilai lalai mengawasi bahan baku produksi obat sirup hingga nomor izin edar keluar.
Lantas bagaimana BPOM memastikan kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari? Kepala BPOM Taruna Iqar menjelaskan hingga saat ini BPOM telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Bukti proses berjalan maksimal adalah dua sertifikat dari seluruh perusahaan yang telah memperoleh Cara Pembuatan Farmasi yang Baik (CPOB). Itu sertifikat, begitulah cara melakukannya.
“Sampai (CPOB) keluar, Badan POM harus melalui beberapa tahapan. Pertama, perusahaan menyerahkan semua dokumen. Jika dokumen sudah ada, Badan POM melakukan pemeriksaan, memeriksa semuanya secara detail,” ujarnya. kata awak media saat ditemui di JS Luansa, Jakarta Selatan, Selasa, 24 September 2024.
Kemudian, kata Taruna, tim BPOM akan melakukan evaluasi, dan jika proses evaluasi sesuai dengan dokumen dan fakta di lapangan, BPOM akan menerbitkan CPOB.
“Nah, begitu pabrik sudah dapat (CPOB), maka pabrik mulai memproduksi obat sesuai formula yang diinginkan. Misalnya obat batuk, disebutkannya bahan apa saja. Itu karena kami yakin pabriknya benar, jadi kami lihat labelnya, Pabrik mengeluarkan produk dari labelnya, ”ujarnya.
Taruna menjelaskan, setiap produsen obat harus mencantumkan kandungan obatnya secara detail. Termasuk bahan lain seperti pemanis, sirup atau pelarut dll.
“Nah, itu tercantum di sana. Berdasarkan daftar itu, perusahaan bertanggung jawab atas isinya,” ujarnya.
Namun Taruna menjelaskan, BPOM juga melakukan uji sampel di laboratorium untuk memeriksa apakah obat yang diproduksi sesuai dengan kandungan yang tertulis pada label obat.
“Tapi sederhananya, kadang sebelum keluar, kita melakukan sampel. Kita cek di laboratorium untuk melihat apakah cocok dengan kandungannya. Nah, selama ini obat yang bermasalah itu sebenarnya sudah berumur puluhan tahun. Maksudku, seperti , ‘Semua orang sedang dalam proses, kami membuat pilihan yang tepat,'” katanya. Dia berkata.
Soal penyebab kejadian beberapa tahun lalu, Taruna Ikrar mengatakan mungkin ada kesalahan di pihak perusahaan atau pabrik obat.
Mungkin ada kecelakaan yang terjadi di suatu perusahaan atau pabrik. Itu yang disebut kejadian luar biasa. Badan POM selama ini sudah mengambil tindakan tegas. Kenapa bisa terjadi? Itu kecelakaan atau semacamnya dan bukan kecelakaan. di Badan POM. “Itu kecelakaan industri,” ujarnya.
Sebaliknya, jika kejadian tersebut terjadi, BPOM akan bertindak sesuai prosedurnya, khususnya penarikan produk tersebut. “Pencabutan dalam artian izinnya, maka kewajiban perusahaan untuk mencabut semuanya, karena kita ingin mencegahnya. dan harus membayar denda yang beragam,” ujarnya.
Untuk menghindari hal tersebut di kemudian hari, Taruna mengatakan Badan POM berjanji akan lebih tegas. Tidak hanya saat melihat label, tapi juga saat menumbuhkan suatu pola.
Jadi standarnya, dia kirimkan untuk mendapat persetujuan edar. Sebelum disetujui edar, kami juga minta sampel dikirim dan kami uji sampelnya, itu cara kami mengatasi masalah ini, ujarnya.
Taruna meyakinkan masyarakat bahwa Badan POM telah menjalankan tanggung jawabnya dengan baik terkait solusi ini.
“Jadi intinya kalau soal sertifikat pembuatan obat atau pembuatan barang praktis, kita sudah tepat,” ujarnya.