Harus Ada Kompensasi dari Kenaikan Pajak

JAKARTA, Titik Kumpul – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, dari 11% pada tahun 2022.

Kenaikan pajak pertambahan nilai ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Berdasarkan laman Kementerian Keuangan, barang dan jasa berikut ini dikenakan PPN sebesar 12%:

– Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pedagang Kena Pajak (PKP). Misalnya barang elektronik yang dibeli di pusat perbelanjaan.

– Pemasukan BKP dan/atau penggunaan JKP tidak berwujud dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.

– Ekspor BKP dan/atau JKP PKP.

– Kegiatan pengembangan diri yang tidak dilakukan oleh orang perseorangan atau perorangan dan badan hukum dalam rangka kegiatan komersial atau bisnis. Misalnya PPN atas bangunan.

– Pemindahtanganan harta dari PKP yang tidak diperuntukkan untuk diperjualbelikan sesuai dengan peruntukan pokok harta itu, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayarkan pada saat pemungutan masih dapat dikreditkan.

Sedangkan Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang berwujud yang dapat bergerak atau tidak bergerak berdasarkan sifat atau hukumnya, dan barang tidak berwujud dikenakan pajak menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang kini ada dalam Undang-Undang No. 7 2021 tentang sinkronisasi telah diperbaiki. Peraturan Perpajakan (HPP).

Ketentuan mengenai cakupan BKP merupakan “daftar negatif” yang berarti bahwa pada prinsipnya seluruh barang adalah BKP, kecuali jika ditetapkan sebagai barang tanpa PPN.

Kenaikan pajak pertambahan nilai membuat barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari menjadi lebih mahal. Selama penjualnya berstatus Pedagang Kena Pajak (PKP), barang tersebut dikenakan pajak.

Beberapa contoh Barang Kena Pajak antara lain pakaian, tas, sepatu, pulsa telekomunikasi, peralatan elektronik, barang otomotif, perkakas, bahkan sabun dan kosmetik.

Selain itu, layanan streaming video dan musik yang biasa kita gunakan seperti Netflix dan Spotify juga dikenakan PPN. Wacana kenaikan PPN mendapat tentangan dari berbagai pihak.

Salah satunya adalah Rederientrepreneurenes Forening. DPP Gabungan Pengusaha Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Kepala Seksi Perdagangan dan Tarif Rachamtika Ardiyanto menilai hal itu justru akan menambah beban perdagangan transit.

Kenaikan ini disebut-sebut akan menimbulkan multiplier effect, yaitu meningkatnya biaya-biaya lain seperti kenaikan upah karyawan akibat kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya docking, dan biaya suku cadang.

Menurut dia, tarif yang diterapkan dengan kondisi saat ini masih lebih rendah 31,8 persen dibandingkan perhitungan biaya dasar yang dihitung bersama oleh Kementerian Perhubungan, ASDP, Gepasdap, Assuransi Jasa Raharja dan Jasa Raharja Putra, serta perwakilan konsumen.

Ia mengatakan: “Perhitungan ini ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2019. Tarif saat ini masih belum sesuai dengan perhitungan bea cukai”.

Namun, lanjut Rachmatica, pengusaha pelayaran akan menuntut ganti rugi jika tarif penumpang tidak bisa disesuaikan. Ia menjelaskan, kompensasinya berupa pengurangan biaya pelabuhan dan juga pengurangan biaya yang digunakan untuk transportasi udara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *