JAKARTA – Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia. Penyakit ini tersebar luas sehingga anak-anak, orang dewasa, dan orang tua dapat menderita penyakit ini.
Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2023, Indonesia memiliki 1,06 juta kasus tuberkulosis, tertinggi kedua di dunia setelah India. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan beban TBC yang tinggi atau negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi. Gulir ke depan.
Penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis (M.Tb) ini dapat menyerang paru-paru, tulang belakang, kulit, otak, kelenjar getah bening bahkan jantung. Penularan biasanya terjadi melalui udara, dan pasien menyebarkan bakteri ketika mereka batuk di tengah orang banyak.
“Ini adalah penyakit yang jika orang tertular, mereka lebih memilih untuk diam dan pada akhirnya tidak akan dibicarakan dan malah menjadi lebih buruk,” kata Dr. Presiden Stop Tuberculosis Partnership Indonesia (STPI) Nurul N. Luntungan menghadiri konferensi pers Hari Tuberkulosis Sedunia bersama STPI pada Senin, 25 Maret 2024 di Jakarta.
Melihat angka penularan yang begitu tinggi, pemerintah Indonesia tentu tidak akan tinggal diam. Memang benar, pemerintah telah lama bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan untuk memenuhi komitmen global dalam memerangi TBC.
Pertemuan Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHLM) telah berkomitmen untuk mendiagnosis dan mengobati tuberkulosis antara tahun 2023 dan 2027, menyediakan akses pengobatan bagi 45 juta penderita tuberkulosis. Saat itu, 45 juta orang bisa menerima pengobatan TPT. Selain itu, 4,5 juta anak yang mengidap TBC dapat diobati setidaknya dengan segera dan 1,5 juta pasien dengan TBC yang resistan terhadap obat (RO) dapat diobati.
“Tujuannya agar lebih dari 90% pasien TBC terdiagnosis dan diobati, dengan 90% kelompok risiko tinggi memiliki akses terhadap TPT,” jelasnya.
Selanjutnya terdapat target finansial hingga 22 miliar dolar AS yang merupakan komitmen global dan rencana strategis nasional yang ambisius untuk menaklukkan penyakit ini. Terdapat juga komitmen mengenai isu-isu komunitas, hak-hak, gender dan stigma sosial yang akan bekerja sama untuk memfasilitasi diagnosis penyakit ini.
Selain itu, penelitian dan pengembangan mengenai tuberkulosis akan terus berlanjut. Di masa depan, akses terhadap layanan kesehatan primer dan alat diagnostik baru, serta sistem kesehatan yang lebih baik, diperkirakan akan meningkat.