Jakarta, Titik Kumpul – Keterlambatan bicara pada anak merupakan masalah yang semakin meningkat di Indonesia. Banyak orang tua yang merasa khawatir ketika melihat anaknya tidak bisa berkomunikasi sesuai usianya. Masalah ini dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan psikologis anak, serta menghambat interaksi dengan lingkungan.
Kekhawatiran orang tua seringkali bertambah ketika melihat anak yang seharusnya bisa berbicara dengan jelas menggunakan bahasa tubuh atau sekadar menunjukkan keinginannya. Minggir, oke?
Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya stimulasi yang tepat di rumah, atau mungkin karena pola asuh yang tidak mendukung.
Tanpa perhatian yang memadai, anak berisiko menghadapi tantangan komunikasi yang lebih besar, sehingga menyebabkan kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya dan keterlambatan perkembangan kognitif.
Dr. Fitri Hartanto, dokter spesialis tumbuh kembang anak, menjelaskan berbagai penyebab keterlambatan bicara dan dampak stimulasi yang tidak tepat, termasuk dampak peningkatan screen time pada anak.
Keterlambatan bicara dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor materi
Faktor-faktor ini termasuk kelainan yang bersifat biologis atau medis.
Beberapa gangguan yang termasuk dalam kategori ini adalah keterlambatan remaja, gangguan kognitif, gangguan perilaku, gangguan saraf, dan gangguan organ tubuh, kata dr Petri dalam seminar media Ikatan Dokter Anak Indonesia tentang Identifikasi Keterlambatan Bicara pada Anak.
Ia menjelaskan, anak yang mengalami keterlambatan bicara karena faktor internal mungkin memerlukan evaluasi medis lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada kondisi yang mendasarinya.
2. Faktor eksternal
Faktor ini berkaitan dengan lingkungan dan cara orang tua mendidik anaknya. Dr. Petrie menekankan pentingnya stimulasi yang memadai untuk perkembangan bahasa anak.
“Salah satu penyebab utama terjadinya keterlambatan bicara adalah kurangnya rangsangan dari orang tua. Hal ini bisa terjadi karena sikap permisif, orang tua yang terlalu protektif, atau bahkan kelalaian,” ujarnya.
3. Kurangnya pengasuhan dan motivasi
Dr. Petrie memaparkan pola asuh orang tua yang dapat menghambat perkembangan bicara anak.
“Ketika orang tua terlalu permisif, seringkali anak tidak terpacu untuk belajar berbicara, misalnya ketika anak meminta sesuatu dengan menunjuk atau melambai tanpa menggunakan kata-kata, orang tua sering kali langsung memberikan apa yang mereka minta. Untuk belajar, berkomunikasi dengan bahasa, misalnya, ujarnya.
Pola asuh yang terlalu protektif bisa berbahaya.
“Anak yang selalu dilayani tanpa diberi kesempatan untuk mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata, tidak akan belajar komunikasi yang baik. Orang tua yang berusaha mencegah anaknya menangis seringkali tidak mengetahui bahwa hal tersebut mengganggu perkembangan bahasa anak,” . . Petri.
Selain itu, pembelajaran yang tidak tepat juga dapat menyebabkan keterlambatan bicara. Contoh yang disampaikan oleh Dr. Petrie menguasai dua bahasa sejak usia dini. “Mengajarkan anak lebih dari satu bahasa sebelum mereka memiliki dasar bahasa yang kuat dapat mengganggu proses pembelajaran bahasanya. Idealnya, pengenalan bahasa kedua dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun,” ujarnya.
5. Kesalahan dalam pembelajaran bahasa
Dr. Petrie melanjutkan dengan beberapa kesalahan umum dalam pembelajaran bahasa.
“Banyak cara mengajarkan bahasa kepada anak yang salah, seperti salah menerjemahkan, belajar tanpa bantuan, dan belajar tanpa melalui langkah yang benar,” jelasnya.
Contoh salah tafsir adalah ketika anak menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, namun orang tua merespons dengan mengikuti gerakan tersebut tanpa memberikan konteks bahasa yang benar. Pembelajaran tanpa bantuan juga berpotensi membahayakan.
“Ketika anak-anak belajar berbicara sendiri tanpa bimbingan orang dewasa, mereka dapat mengembangkan bahasa yang tidak dipahami orang lain. Inilah yang disebut bahasa planet, di mana anak-anak menciptakan kata atau kalimat yang hanya mereka yang mengerti,” imbuhnya.
Selain itu, Dr. Petrie menjelaskan pentingnya melewati tahapan pidato.
“Proses berbicara harus melalui tahapan pembiasaan, pemahaman, dan kemudian pengucapan. Jika tidak, anak akan kesulitan berkomunikasi dengan baik,” ujarnya.
6. Efek negatif dari screen time
Isu yang tidak kalah pentingnya adalah dampak screen time terhadap tumbuh kembang anak. Di era digital saat ini, banyak orang tua yang beranggapan bahwa penggunaan gadget bisa menjadi solusi untuk menenangkan anak atau membantunya belajar.
Terlalu banyak waktu menatap layar dapat berdampak negatif pada perkembangan bahasa dan perilaku anak.
“Banyak orang tua yang beranggapan dengan memberikan screen time, anak yang aktif bisa lebih tenang atau pintar dalam mencari konten. Namun kenyataannya, hal tersebut bisa berdampak buruk bagi perkembangannya,” jelasnya.
Dr. Petrie menjelaskan, jika anak-anak terpapar layar, mereka berisiko mengalami computer vision syndrome (CVS) atau gangguan pendengaran. Mereka tidak menonton atau menerima telepon dari orang tuanya karena terlalu tertarik dengan media elektronik.
“Anak yang terbiasa dengan suara bernada tinggi dari media elektronik, sekitar 85 desibel, akan mengalami adaptasi pendengaran yang buruk. Suara manusia hanya sekitar 20-30 desibel,” ujarnya.
Ketika anak-anak terpapar suara dari media elektronik hingga 85 desibel, tak heran jika mereka kerap terpapar tampilan dan suara dari perangkat tersebut. Anak-anak yang beradaptasi dengan tingkat kebisingan tinggi mungkin mengalami masalah pada kemampuan pendengarannya. Secara tidak langsung, perilaku dan konten yang dikonsumsi juga dapat mempengaruhi keterlambatan bicara.