JAKARTA, WIWA – Keinginan kuat untuk melestarikan budaya, tradisi, dan hak-hak masyarakat adat memotivasi Nukila Ivanti, presiden Initiative for Indigenous Communities (IMA), untuk melakukan advokasi terhadap berbagai komunitas suku maritim di Indonesia. Salah satu perjalanan terakhirnya membawa Nukila ke Desa Berakit Teluk Sebong di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, dimana ia bertemu langsung dengan masyarakat suku laut setempat.
Sebagai peneliti di International Forum of Indigenous Women (FIMI), Nukila tidak hanya mengadvokasi perlindungan, tetapi juga melakukan penelitian mendalam tentang keunikan cara bertahan hidup dan kehidupan masyarakat suku laut. Dalam kunjungannya ke desa tersebut, Berekit Nukila menemukan banyak temuan penting tentang kehidupan masyarakat suku laut. Gulir ke depan, oke?
“Saya bertemu dengan kepala suku laut Kajang, namanya Titin, dan saya punya secercah harapan untuk kelangsungan hidup suku laut. Mengapa? Karena saya melihat masih ada generasi muda yang ingin melestarikan tradisi dan peninggalan suku laut. Misalnya, Titin yang berusia 33 tahun masih suka menyimpan ilmu yang didapat dari orang tuanya. Sebut saja, Titin masih mengontrol arah angin dan arus laut saat perahu berlayar ke tengah laut. Nukila berkata, “Tidak hanya itu, ketika berada di laut, Titin akan mengetahui dari bau ikan ke arah mana ikan-ikan itu berkumpul.”
Nukila pun menceritakan pengalaman Titin yang sangat dipengaruhi oleh ajaran orang tuanya untuk hidup selaras dengan alam.
Titin selalu ingat nasehat orang tuanya: ‘Jika kamu menghargai alam, maka alam akan menghargai kamu, jadi jangan serakah.’ Titin sangat senang mencari teripang, memancing di bawah laut, bahkan berjalan-jalan di bawah laut, yang mungkin dianggap mustahil oleh kebanyakan orang,” kata Nukila.
Namun pertemuan dengan perempuan suku laut membawa cerita sedih tentang perubahan lingkungan yang mereka alami.
Katanya, manusia kini menjadi serakah. Contohnya adalah limbah yang tidak terkendali akibat pembuangan minyak dalam skala besar dari kapal. Nukila menjelaskan, “Masyarakat suku laut menderita karena peralatan penangkapan ikan modern yang merajalela sehingga menghancurkan kehidupan suku laut, bahkan banyak proyek pembangunan yang menghancurkan penghidupan suku laut. Jangan pikirkan keberadaannya. .”
Menurut cerita Titin, masyarakat suku laut tidak mempunyai harta yang lebih berharga dari laut beserta isinya, dan mereka menganggap ekosistem laut sebagai daya tariknya. Lebih lanjut, Nukila menyoroti kondisi kehidupan masyarakat Suku Laut yang semakin memprihatinkan.
“Mereka tidak bisa menangkap ikan di dekat tempat tinggalnya karena lautnya tercemar sehingga sulit mencari ikan. Padahal sumber pendapatan mereka adalah nelayan. “Suka atau tidak, mereka harus menangkap ikan sampai ke perbatasan dengan negara tetangga Malaysia,” kata Nukila.
Dalam situasi yang memprihatinkan tersebut, perempuan suku laut seperti Titin, Mary, Sarima dan seorang lelaki lanjut usia bernama Sakdia menyampaikan harapannya kepada pemerintah. Ia meminta Presiden Probov Subianto memperhatikan pembangunan yang dilakukan khususnya oleh para pelaku usaha dengan mempertimbangkan keberlangsungan hidup mereka.
“Dampak limbah kapal dan industri ekstraktif menurunkan hasil tangkapan ikan sehingga menurunkan pendapatan nelayan secara drastis,” kata Nukila.