Integrasi Penanganan TBC dan Stunting Penting untuk Pengobatan Anak

Jakarta – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menekankan pentingnya mengintegrasikan pengobatan tuberkulosis (TB) dan stunting pada anak. Hal ini bertujuan untuk deteksi dini dan pengobatan kasus tuberkulosis pada anak secara efektif.

Direktur Pengendalian Infeksi Kementerian Kesehatan Imran Pambudi menjelaskan, gejala TBC pada anak tidak selalu berupa batuk. Gejala lain yang harus diwaspadai adalah penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, rewel, dan pembesaran kelenjar di leher.

“Gejala TBC pada anak sebetulnya bukan batuk-batuk ya. Ini yang harus saya tegaskan, bukan batuk-batuk. Ini soal berat badan turun lebih banyak, orang tidak mau makan, orang pilih-pilih, ada hipertrofi kelenjar di leher.” , kata Imran saat konferensi pers Hari Tuberkulosis Sedunia.

Peningkatan jumlah kasus TBC pada anak usia 2,5 tahun dari 42.187 kasus pada tahun 2021 menjadi 132.528 kasus pada tahun 2023 disebabkan oleh beberapa faktor, rendahnya jumlah kasus penemuan selama pandemi Covid-19, yang ditularkan dari orang dewasa yang tidak diobati. Faktor risikonya antara lain merokok, penyakit lain yang menurunkan kekebalan tubuh, dan gizi buruk.

Upaya deteksi tuberkulosis pada anak diperluas melalui integrasi dengan program pengobatan stunting. Penimbangan di posyandu merupakan salah satu cara untuk mendeteksi anak yang berisiko terkena tuberkulosis.

“Jadi pada saat proses penimbangan di posyandu, jika ada anak yang dinilai belum mencapai berat badan yang diharapkan, kami atau tenaga medis akan melihat apa penyebabnya, karena bisa jadi lebih dari sekedar masalah gizi pada khususnya,” ujarnya. dia berkata.

Selain itu, juga dilakukan investigasi kontak terhadap anak yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis.

Presiden Konfederasi Organisasi Profesi Pengendalian Tuberkulosis Indonesia (KOPI TB), Erlina Burhan menjelaskan, anak-anak merupakan kelompok rentan terkena TBC karena daya tahan tubuhnya yang belum berkembang. Terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) harus diberikan pada kelompok risiko tinggi untuk mencegah bakteri TBC yang tidak aktif kembali aktif.

“Orang dengan infeksi HIV yang tidak terlalu parah, orang yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis, misalnya anak di bawah 5 tahun, remaja 5-14 tahun. Kelompok risiko juga adalah orang yang imunitasnya buruk,” kata dokter spesialis paru tersebut. Pakar.

Ada pula tenaga medis, narapidana, pengguna narkoba, dan masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *