JAKARTA – Kesadaran masyarakat untuk hidup sehat semakin meningkat sejak adanya pandemi COVID-19. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya masyarakat yang berolahraga di ruang terbuka seperti Gelora Bung Karno di Jakarta.
Di antara sekian banyak olahraga, lari menjadi olahraga yang paling banyak menarik perhatian masyarakat Indonesia. Anda bisa melihat semakin banyak orang berlarian di kawasan Gelora Bung Karno pada pagi, sore dan hari libur.
Apalagi popularitas olahraga lari di kalangan masyarakat ibu kota juga turut mempengaruhi konsumsi sepatu lari. Bahkan setahun yang lalu, sepatu tersebut memiliki pelat karbon. Sepatu jenis ini sangat populer di kalangan pelari.
Sepatu tersebut merupakan sepatu olahraga dengan lapisan karbon yang dirancang untuk memberikan efek kenyal saat kaki menyentuh tanah. Sepatu ini terkenal di kalangan pelari (baik profesional maupun rekreasional) karena terbukti meningkatkan performa lari.
Pelari yang menggunakan sepatu jenis ini umumnya dianggap memiliki kecepatan di atas rata-rata. Namun bagi masyarakat yang ingin menggunakan sepatu tersebut sebaiknya berhati-hati. Mengapa?
Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga Dr. Sofia Hage dari Sp.KO menuturkan mampu memberikan performa prima bagi yang menggunakannya. Namun sepatu tersebut juga dapat menyebabkan cedera, terutama bagi mereka yang bukan pelari profesional.
“Sepatu berlapis karbon, hati-hati. Menurut penelitian, kombinasi lapisan karbon dan busa membuat kita berlari lebih cepat. Jadi lebih mudah bagi mereka yang mengejar yang terbaik untuk mencapainya. Tapi ada syaratnya dan kita lari dengan baik, memang seharusnya begitu, katanya dalam acara Hidup Sehat Plus tvOne, Jumat, 10 Mei 2024, karena kalau kita tidak lari dengan karbon, maka lapisan itu membuat telapak kaki kita rentan cedera. .”
Sofia menambahkan, pelari yang berperilaku buruk saat menggunakan sepatu jenis ini dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah cedera serius.
Bayangkan kita akan mendarat dengan lapisan karbon berulang kali hingga jarak 500 kilometer, atau berapa ribu atau ratusan ribu langkah yang diperlukan untuk mendarat dengan lapisan karbon, ujarnya.
Di sisi lain, untuk memilih sneakers yang cocok, Sofia mengatakan banyak aspek yang perlu diperhatikan. Mulai dari ketebalan sol, hingga kelenturan sepatu.
“Untuk sepatu lari, perhatikan jenis solnya. Biasanya sepatu lari memiliki sol yang tebal sehingga memungkinkan adanya momentum atau gerak ke depan sehingga memudahkan kita dalam berlari. Fleksibilitas mengacu pada bentuk stabil atau cara memantulnya. Menjadi lebih baik,” katanya.
Sofia juga mengungkapkan bahwa sneakers juga sebaiknya diganti setiap 500-700 kilometer pemakaian. Sebab jika jarak tersebut terlampaui maka fungsi dari sneakers akan berkurang.
“Kalau terlalu lama fungsinya jadi licin, mudah cedera, dan kaki tidak terawat,” ujarnya.
Di sisi lain, Sophia juga mengingatkan, pemilihan sepatu yang tidak cocok untuk beraktivitas dan tidak pas di kaki tidak hanya berdampak pada cedera, tapi juga berdampak pada performa seseorang.
“Paling sering, dan sayangnya, cedera olahraga terjadi karena pilihan alas kaki yang tidak sesuai dengan bentuk kaki atau jenis olahraga yang menyebabkan cedera. Misalnya, kita berlari dengan sepatu tenis, jadi alih-alih berlari lebih cepat, kita justru melakukannya. melukai diri sendiri karena sol sepatu tenis lebih keras dibandingkan sol sepatu lari,” ujarnya.
Dia menambahkan: “Jika kita memilih sepatu, itu bukan hanya untuk mencegah cedera, tapi yang terpenting, kita bisa tampil lebih baik. Jadi kita tidak akan menyerah begitu saja karena kita sudah mencapai tujuan yang diinginkan karena olahraganya nyaman dan aman.