Jakarta, VIWA – Rektor Universitas Pancasila Prof Marsudi Wahoo Kisoro mengatakan pendidikan karakter sebagai landasan kesuksesan manusia tidak hanya sekedar diajarkan, namun harus menjadi teladan bagi setiap pelajar atau mahasiswa.
Hal tersebut disampaikannya pada kuliah umum Departemen Psikologi dengan tema “3 Dosa Mematikan Pendidikan: Peran Mahasiswa Sebagai Agen Perubahan” di Kampus Pensacola University Depok, Selasa (20 September 2024).
Workshop ini menarik karena membahas 3 dosa besar pendidikan menurut survei Kemendikbud yaitu: kekerasan seksual, perundungan dan intoleransi. Menarik juga yang disampaikan oleh Raspreet Putri Uthmi, Kepala Pusat Pendidikan Kepribadian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kalau saya melihat masalah pendidikan karakter, bukan hanya masalah apa yang diajarkan, pendidikan karakter harusnya memberi contoh.” Saya sampaikan ada 10 dosa dalam pendidikan kita, bukan hanya dari sudut pandang siswa saja, tapi juga dari sudut pandang sistem pendidikan kita yang belum memberikan karakter yang baik kepada siswa atau siswa, ujarnya.
“Jadi, pengambil keputusan dalam sistem pendidikanlah yang bertanggung jawab, bukan siswa. Mereka hanya korban dari sistem pendidikan yang cacat,” lanjutnya.
Ingatlah bahwa dalam buku terlaris “Revolusi Pengajaran” terbitan tahun 2016, ia menulis bahwa ada 10 dosa besar pendidikan, yang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ditetapkan sebagai 3 dosa besar. Katanya banyak yang minta, edisi kedua akan segera terbit.
Hal tersebut menggambarkan dosa utama yaitu model pendidikan yaitu Tut Vari Handani yang dianggap sudah tidak relevan lagi. Namun yang benar adalah Ing Ngarso Sung Thulodo. Model ini tidak memberikan kebebasan berkreasi pada siswa.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memutarbalikkan ajaran sebagian Hazara Devanturu dengan mengadopsi prinsip terakhir, Tutveri Handyani (setelah shalat). Seharusnya Ang Nagarsu Sing Thalhodu (depan, misalnya). Dikatakannya, kehancuran bangsa disebabkan oleh para pemimpin, pekerja, dan guru yang tidak memberikan contoh yang baik.
Apalagi pendidikan kita telah menyebarkan virus yang lebih berbahaya dari covid-19, yaitu virus mentalitas pegawai. Oleh karena itu, lanjut Profesor Marsudi, tidak heran jika ada lowongan bagi pengusaha, khususnya PNS atau BUMN, banyak peminatnya.
Jadi pendidikan kita sejak awal mengajarkan kompetisi, bukan kerja sama. Sistem penilaian di sekolah yang bertujuan baik namun kurang dilaksanakan menyebabkan sulitnya mengembangkan sifat kooperatif, karena setiap siswa memandang siswa lainnya sebagai saingan yang harus dikalahkan. Alhasil, orang pintar menjadi juara kelas dengan menunjukkan kecerdasannya, dan orang kuat menunjukkan kekuatannya dengan bersikap intimidasi, jelasnya.
“Pendidikan kita membunuh banyak kecerdasan. Yang pandai matematika dan sains dianggap pintar, meski berbohong,” jelas Profesor Marsudi.
Menurutnya, faktor penentu kesuksesan hidup bukan hanya kecerdasan mental, tapi juga karakter yang kuat. Dikatakannya bahwa kesuksesan hanya ditentukan oleh 10% kecerdasan dan 90% karakter dan ini bukan sekedar pernyataan tetapi kebenaran yang terbukti.
Lebih lanjut beliau mengatakan, pendidikan karakter menjadi lebih penting di era sekarang ini. Pekerjaan fisik nantinya akan digantikan oleh mesin pintar atau AI, namun ada satu hal yang tidak dapat ditiru oleh AI secanggih apa pun, yaitu perilaku manusia.
“Pemahaman ini harus jelas bagi seluruh mahasiswa dan semua orang,” jelasnya.
Untuk menyikapi hal tersebut, Profesor Marsudi mengatakan perubahan dapat dilakukan pada kurikulum. Ia juga menilai kurikulum yang ada saat ini kurang cocok. Struktur kurikulum sekolah dasar atau sekolah dasar hendaknya lebih fokus pada pembentukan karakter. Selain itu, pada tingkat menengah, penekanan diberikan pada penguatan keterampilan termasuk matematika dan sains.
“Jadi struktur kurikulumnya harus diubah seperti ini, karena karakter adalah fondasinya.” Karakter seseorang tidak dapat terbentuk ketika ia sudah belajar, dalam kondisi apapun. Peran dapat dikembangkan pada masa pendidikan sekolah dasar hingga akhir sekolah dasar. Apakah seorang anak menyukai intimidasi atau kekerasan: “Ini berkembang ketika saya masih kecil,” katanya.