Kasus Pelajar SD Terancam Buta Permanen di Jombang Dapat Sorotan Aktivis Anak

VIVA – Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah dasar (SD) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur mendapat perhatian khusus dari para aktivis perlindungan anak.

Pasalnya, kejadian nahas yang dialami siswa kelas 4 SD ini bukan kali pertama terjadi di kota tersebut.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jombang, Solahudin mengatakan, berdasarkan catatan LPA, kejadian kekerasan yang dialami anak tercatat sebanyak tiga kali. Hal terakhir yang menimpa seorang siswa sekolah dasar adalah kebutaan hampir permanen.

“Kasus ini harus menjadi yang terakhir dan tinjauan umum. Dari catatan kami, ada tiga kasus yang menonjol, pertama di Kabuh seorang siswi SD, satu lagi penusukan di SLB, dan yang ketiga kejadian gadis itu dianiaya. juga terluka.” rusak di SD,” kata Solahudin, Kamis, 22 Februari 2024.

Ia menegaskan, rangkaian tiga kasus yang beredar harus dijadikan dokumen penilaian umum baik bagi sekolah, orang tua, maupun pemerintah setempat. Khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

“Bagi sekolah, ketiga kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagaimana cara mengelola siswa dengan lebih baik saat waktu luang atau saat pergantian guru. Karena ketiga kasus tersebut terjadi saat guru tidak hadir di kelas, saat istirahat, atau saat pergantian guru,” ujarnya. Solahudin.

Lebih lanjut, Solahudin mengatakan sekolah harus menjaga kenyamanan siswa dengan menjauhi benda-benda yang dapat membahayakan siswa.

“Contohnya benda tajam, mungkin bagi kita orang dewasa aman, tapi bagi anak-anak yang belum paham dan lepas kendali bisa jadi benda berbahaya,” kata Solahudin.

Ia mengatakan, peran sekolah dalam menerapkan respons yang cepat dan tepat juga perlu diperhatikan. Misalnya, segera menginformasikan kepada orang tua mengenai kondisi anak dan memberikan penanganan yang maksimal, termasuk menjamin masa depan anak.

“Dengan ini semoga orang tua cepat mengetahui dan mengambil tindakan. Jika UKS di sekolah tidak sesuai harus segera dibawa ke tempat pengobatan terdekat, agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.” ujar Solahudin.

Sementara itu, Solahudin menegaskan kepada para orang tua, kasus ini juga harus menjadi pembelajaran bagaimana memperhatikan tumbuh kembang dan perilaku anak. Karena sangat penting dilakukan untuk mengharapkan hal yang sama terjadi.

Selain itu, dalam beberapa kasus kekerasan dilakukan secara tidak sengaja, melainkan karena anak mengetahui kekerasan tersebut,” ujarnya.

Ia pun mencontohkan kasus yang terjadi di hadapan siswa SD Plus Darul Ulum Jombang.

“Seperti pada kasus SLB, anak tersebut memiliki disabilitas intelektual namun memainkan game online yang mengandung kekerasan dan hal ini mempengaruhi perilaku anak sehingga berujung pada kekerasan. Oleh karena itu, pendidikan dan pengawasan keluarga harus selalu menjadi tanggung jawab anak. solidaritas yang erat,” ujarnya. Solahudin.

Sementara itu, Solahudin mengatakan kepada pemerintah, pelajaran penting dari ketiga kasus tersebut adalah manajemen sekolah tidak boleh acuh tak acuh. UKS sebagai unit kesehatan yang paling dekat dengan sekolah memang perlu dioptimalkan.

“Sebagian besar Inggris saat ini hanya memiliki persyaratan tambahan untuk penilaian sekolah,” katanya. Tapi di dalamnya hanya ada ruangan kosong berisi minyak aromatik dan minyak kayu putih, misalnya, yang tidak boleh lagi.”

UKS merupakan klinik dasar dan harus memiliki staf yang berkualitas dan peralatan standar untuk memberikan pertolongan pertama.

“Pengobatan dan pemantauan pengobatan tentu menjadi fungsi klinik, namun setidaknya dengan peralatan dan fasilitas yang standar dapat mencegah kondisi memburuk sebelum waktunya,” ujarnya.

Selain itu, perekrutan instruktur dan konsultan yang baik serta penataan instruktur dan konsultan yang baik juga perlu mendapat perhatian Pemerintah. Selain itu, guru perubahan iklim masih dianggap sebagai polisi sekolah di beberapa sekolah hingga saat ini.

“Padahal guru BK ini seharusnya konselor, tapi fundamentalnya otomatis psikologi sehingga karyanya relevan dan bisa menunjuk pada anak,” ujarnya.

Mereka pun berharap kejadian ini menjadi yang terakhir di Jombang dan tidak terulang kembali. Selain itu, anak sebagai orang yang diberitahu tidak dapat dituntut dalam kasus tersebut.

“Jadi sesuai aturan, kalau pelakunya masih di bawah 12 tahun, memang akan dikembalikan ke orang tuanya. Oleh karena itu, pencegahan harus diutamakan, agar tidak ada yang merasa dirugikan atau tidak mendapat keadilan,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, seorang siswa di Jombang dinyatakan berisiko mengalami kebutaan permanen pada mata kanannya setelah salah satu teman sekelasnya tanpa sengaja melemparkan sepotong kayu ke arahnya.

Peristiwa tersebut dialami korban pada 9 Januari 2024. Saat itu, siswa SD sedang menunggu pergantian kelas.

Baca artikel edukasi menarik lainnya di link ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *