Titik Kumpul – Jumlah mobil listrik di Indonesia semakin meningkat. Namun polusi udara masih tinggi khususnya di Jakarta, bahkan belum lama ini menduduki peringkat ke-3 dunia.
Selain itu, hingga 18 Juni 2024, menurut data IQ Air, Jakarta menempati urutan pertama tingkat pencemaran tertinggi dengan indeks kualitas udara 194, dan pencemar terbanyak adalah PM 2,5.
Artinya, yang masuk kategori tidak sehat yang menduduki peringkat kedua pagi ini saat itu adalah Kinshasa Kongo, disusul Kampala Uganda, Delhi Ida dan masih banyak negara lainnya.
Memang banyak kendaraan listrik yang dinilai ramah lingkungan di jalan raya, mulai dari bus yang digunakan TransJakarta, mobil pribadi, hingga sepeda motor.
Berdasarkan data Gabungan Produsen Mobil Indonesia, penjualan mobil listrik dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya model yang beredar di pasaran.
Di antaranya, pada Januari-Mei 2024, penjualan grosir kendaraan listrik mencapai 9.729 unit, melonjak 109,68 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya berjumlah 4.640 unit.
Belum lagi skuter listrik, jika melihat skuter listrik yang mendapat bantuan, menurut data SISSAPIRA, skuter listrik yang ada di jalan raya selama ini berharga 55.070.000 riyal.
Angka tersebut tercatat dari data sepeda motor listrik yang terdistribusi ke pelanggan pada tahun 2023 sebanyak 11.532 unit dan sepanjang Januari hingga Selasa 23 Juli 2024 pukul 11.50 WIB sebanyak 43.538 unit terdistribusi.
Namun polusi di banyak daerah, termasuk Jakarta, masih tinggi, begitu pula sumber listrik yang digunakan kendaraan listrik untuk mengisi baterainya.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengujian EBTKE pada Direktorat Jenderal Energi Terbarukan dan Konversi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Harris mengatakan, permasalahannya adalah batubara yang paling banyak mengeluarkan emisi pada sektor pembangkit listrik.
“67 persen listrik yang kita gunakan masih berasal dari batu bara,” kata Harris saat berdiskusi dengan Forum Editor Otomotif di ICE BSD, Tangerang, Selasa, 23 Juli 2024.
Tujuan pemerintah untuk netralitas karbon pada tahun 2060 tidak akan tercapai secara maksimal jika kontrak dengan PLTU (Pembangkit Mesin Uap) diputus.
“Karena pada tahun 2023-2030 masih ada PLTU batu bara yang masuk sistem ini karena sudah ada kesepakatan sebelumnya. Jadi Anda tidak bisa memutuskan sendiri. “Setelah tahun 2030, tidak ada lagi kontrak PLTU batu bara yang dijual ke publik, kecuali yang dihasilkan dari sumber daya pertambangan,” ujarnya.