Konsumsi Protein Hewani di Indonesia Rendah, Padahal Bisa Cegah Stunting Hingga Bantu Pertumbuhan

JAKARTA, VIVA – Memberikan nutrisi seimbang sangat penting agar anak dapat tumbuh dengan sehat. Oleh karena itu, penelitian untuk mengukur gizi anak Indonesia dilakukan oleh Jaffa, Edufarmers Foundation dan Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI).

Lebih dari 1.000 SD, TK, dan Balita menerima makanan bergizi pada Mei-Juni 2024, yaitu di Padang, Saragon, Membawa, Malang, dan Makassar. Gulir untuk informasi lebih lanjut!

Penelitian ini mengkaji 3 model penyampaian makanan bergizi yaitu Ready to Eat (RTE), Ready to Cook (RTC) dan Swagelola. Tujuannya adalah untuk menganalisis kinerja setiap model sekaligus memantau proses produksi, memenuhi kebutuhan nutrisi dan distribusi.

Konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, kata Rachmat Inderjaya, Direktur Corporate Affairs.

Apalagi dibandingkan dengan negara-negara maju dan banyak negara ASEAN, ujarnya dalam konferensi pers pangan bergizi bersama JAPFA di Jakarta, Rabu, 25 September 2024.

Protein hewani dinilai efektif mencegah stunting. Selain itu, kelengkapan nutrisi dan vitamin pada pakan ternak sangat penting untuk tumbuh kembang anak.

Penelitian ini dirancang selama tiga bulan, mulai dari konsep model pemberian pakan hingga pemilihan lokasi, sebelum disosialisasikan pada awal Mei 2024. 

Cakupan wilayah penelitian meliputi wilayah sekitar unit operasional Japa yaitu SDN 06 Padang Anai di Batang, Sumatera Selatan; SDN 01 Duungan di Sragan Jawa Tengah; Malang, Kabupaten Buluang di Jawa Timur; SDN 03 Sungai Binyuh Membawa Kalimantan Barat; serta SD Bukatun Mubaraka dan TK Asoka di Makassar, Sulawesi Selatan.

Selama 6 minggu berturut-turut, setiap lahan diuji selama 10 hari untuk setiap sampel makanan, kemudian diukur dan dievaluasi tingkat nutrisi yang dibutuhkan dan efisiensi operasional. 

Ahli Gizi Kesehatan Masyarakat PKGK UI, Prof. Dr. Dr. Sandra Figavati, MPH, mengatakan dari observasi lapangan, kecuali telur, konsumsi protein hewani ditemukan relatif rendah. 

Selain itu, 63 persen siswa belum terbiasa membawa barang. Namun status gizi siswa jika dilihat dari berat dan tinggi badannya tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kementerian Kesehatan, ujarnya.

Dari ketiga sampel makanan gizi aktif, Prof. Model Swagelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi di kalangan pelajar sebesar 84 persen, tambah Fika, disusul Ready to Cook (RTC) sebesar 83 persen.

Secara keseluruhan, jumlah anak miskin atau kekurangan gizi menurun sebesar 2,8 persen setelah program ini. Program tersebut berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, khususnya berupa protein dan buah-buahan, yang penting bagi tumbuh kembang siswa. 

Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR), I Dewa Med Agung, mengungkapkan pentingnya kolaborasi multipihak dalam mendukung keberhasilan program pangan bergizi. Penting untuk mengajarkan anak dan orang tua tentang menu dan asupan makanan bergizi serta pengelolaan sisa makanan.

“Studi percontohan kami menjadi referensi penting untuk penerapan program pangan bergizi di sekolah. “Dari kajian ini juga terlihat bahwa batasan biaya di daerah harus disesuaikan,” ujarnya.

“Selanjutnya, penting untuk memastikan produsen menghasilkan produk pangan yang berkualitas, menjamin keamanan pangan dan menjamin kebersihan dalam proses produksi untuk hasil yang optimal.

Temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.

“Tentunya kami mendukung dan siap untuk lebih bekerjasama dalam penyediaan protein hewani untuk meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia,” tutup Rachmat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *