Libur Lebaran, Waspada Dampak Negatif Game Online Berbahaya pada Anak!

JAKARTA – Bermain game online sudah menjadi aktivitas yang lumrah baik di kalangan orang dewasa maupun remaja. Apalagi di hari libur seperti hari ini. Hanya sedikit orang tua yang memberikan kebebasan kepada anaknya untuk bermain game online.

Jika berbicara tentang game online, jenisnya berbeda-beda. Salah satunya adalah genre war atau battle royale seperti PUBG, Apex Legend dan Rings of Elysium. Game ini dikatakan memiliki beberapa efek menarik saat dimainkan. 

Namun ternyata memainkan game online ini menimbulkan masalah yang cukup serius. Beberapa orang melakukan kekerasan terhadap orang-orang di sekitarnya karena mereka menonton atau bermain game online yang menggambarkan kekerasan.

Benarkah video game kekerasan bisa menyebabkan seseorang melakukan kekerasan? Dalam laporan dari Pusat Pencegahan Kekerasan Remaja, para peneliti melaporkan adanya hubungan antara game online yang berisi kekerasan dan perilaku yang lebih agresif, terutama di kalangan anak-anak yang berada pada tahap sosialisasi yang lebih sensitif. Dampak ini sangat kuat terutama pada kasus-kasus kekerasan virtual yang diprakarsai oleh anak-anak.

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 161 anak-anak berusia antara 9 dan 12 tahun dan 354 mahasiswa, mereka secara acak ditugaskan untuk bermain video game yang menampilkan kekerasan atau non-kekerasan. Para peserta kemudian memainkan permainan komputer kedua di mana mereka menentukan tingkat hukuman yang akan diberikan kepada peserta lain dalam penelitian tersebut (pada kenyataannya, mereka tidak menentukannya). 

Informasi tentang riwayat perilaku kekerasan terkini dari masing-masing peserta juga dikumpulkan; kebiasaan bermain video game, kebiasaan menonton televisi, dan kebiasaan beraktivitas, serta beberapa variabel kontrol lainnya. 

Para penulis melaporkan tiga temuan utama: Peserta pertama yang memainkan salah satu video game kekerasan memilih untuk menghukum lawan mereka dengan ledakan pada tingkat kebisingan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang memainkan permainan tanpa kekerasan.

Kedua, kebiasaan terpapar media yang berisi kekerasan dikaitkan dengan tingginya tingkat perilaku kekerasan belakangan ini.

Ketiga, bentuk-bentuk kekerasan media yang interaktif lebih erat kaitannya dengan perilaku kekerasan dibandingkan paparan terhadap kekerasan media non-interaktif.

Selain itu, dalam makalah tahun 2006 yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics and Adolescent Medicine, Bushman dan Husman meneliti dampak jangka pendek dan jangka panjang dari media kekerasan terhadap agresi anak dan remaja. 

Dengan menggunakan teknik meta-analisis, mereka melaporkan hubungan positif antara paparan kekerasan media dan perilaku agresif, ide agresif, gairah, dan kemarahan dalam penelitian yang mereka ulas. 

Konsisten dengan teori bahwa efek jangka panjang memerlukan pembelajaran untuk percaya dan mengingat bahwa anak-anak lebih mudah memahami naskah baru melalui pembelajaran observasional, mereka menemukan bahwa efek jangka panjang lebih besar pada anak-anak yang memainkan permainan kekerasan.

Di sisi lain, meskipun bermain game kekerasan tidak serta merta menentukan perilaku kekerasan atau agresif, hal tersebut dapat meningkatkan alasan terjadinya perilaku kekerasan. 

Faktanya, Dr. Cheryl Olson mengungkapkan bahwa bermain video game kekerasan mungkin terkait dengan penindasan, yang menurut para peneliti merupakan faktor risiko perilaku kekerasan yang lebih serius. Oleh karena itu, bermain game online yang berisi kekerasan mungkin mempunyai dampak tidak langsung terhadap perilaku kekerasan dengan meningkatkan faktor risiko. 

Doug Gentile menunjukkan bahwa satu-satunya cara video game kekerasan dapat mempengaruhi statistik kekerasan yang serius adalah jika video game tersebut merupakan prediktor utama kejahatan, padahal mungkin tidak. Sebaliknya, hal-hal tersebut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya agresi.

Di sisi lain, sebagian besar peneliti sepakat bahwa perilaku kekerasan ditentukan oleh banyak faktor yang mungkin digabungkan secara berbeda pada remaja yang berbeda. Faktor-faktor tersebut antara lain lingkungan, keluarga, teman sebaya, serta karakteristik dan perilaku individu. 

Misalnya, para peneliti menemukan bahwa tinggal di lingkungan yang penuh kekerasan dan menjadi korban atau saksi kekerasan meningkatkan risiko remaja terlibat dalam perilaku kekerasan.

Namun faktor-faktor ini saja tidak serta merta membuat seseorang melakukan kekerasan, dan sebagian besar orang yang tinggal di wilayah tersebut tidak menjadi pelaku kekerasan. 

Demikian pula, para peneliti secara konsisten menemukan bahwa paparan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (misalnya kekerasan terhadap pasangan dan anak, perkelahian, dan konflik) meningkatkan risiko perilaku kekerasan pada remaja namun tidak selalu mengarah pada penganiayaan terhadap anak. 

Demikian pula, para peneliti menemukan bahwa mereka yang melakukan perilaku pembunuhan saat bermain game online belum tentu melakukan kekerasan. Namun, paparan kekerasan yang terus-menerus dari berbagai sumber, termasuk game online yang menggambarkan kekerasan tanpa adanya faktor positif yang membantu menahan paparan negatif tersebut, kemungkinan besar akan meningkatkan kemungkinan perilaku kekerasan pada remaja.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai sifat sebenarnya dari hubungan antara bermain video game kekerasan dan perilaku kekerasan atau agresif, terdapat banyak bukti yang menghubungkan bermain video game dengan perilaku kekerasan dan hubungannya. 

Analisis yang lebih mendalam dan kritis terhadap masalah ini dari berbagai perspektif dapat membantu kita lebih memahami penyebab dan hubungan kekerasan remaja dan memberikan arahan bagi solusi kreatif terhadap masalah sosial yang sedang berlangsung ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *