Makan Salmon Mentah Bisa Sebabkan Resistensi Antibiotik?

Jakarta, Titik Kumpul – Pengguna media sosial belum lama ini dihebohkan dengan pemberitaan seorang wanita yang mengalami resistensi antibiotik. Awalnya, wanita tersebut didiagnosis menderita infeksi saluran kemih. Kemudian dokter meminta agar dia dirawat di rumah sakit.

Pada pengobatan ini, jumlah obat yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keadaan. Meski ia juga sudah diberikan antibiotik karena infeksi yang dialaminya.

Wanita tersebut kemudian menjalani pemeriksaan dan diketahui ia mengalami resistensi terhadap antibiotik. Wanita ini dinyatakan resisten terhadap lima antibiotik, yakni Quinupristin/Dalfopristin, Erythromycin, Ciprofloxacin, Levofloxacin, dan Tetracycline. Berdasarkan hal tersebut, ia menduga penyebab terjadinya resistensi antibiotik adalah seringnya konsumsi ikan salmon mentah dalam sushi.

“Jadi ternyata hobi makan ikan salmon itu bahaya banget, apalagi kalau dianggap remeh dan tidak melihat dari mana asal ikan salmon tersebut, baik yang dibudidayakan maupun yang liar. Jadi sekarang ini semua ikan salmon yang diternakkan harus berlipat ganda. -Diperiksa, sehat atau tidak liar.” Kalau kena bikin stres dan harus makan bola-bolanya sampai panen. cerita di akun TikTok miliknya beberapa bulan lalu.

Kasus yang dialami wanita ini dan Dr. Ayman Alatas berbicara. Dalam podcast baru-baru ini dengan Gritte Agata, ia mencatat bahwa ada kemungkinan makan salmon mentah bisa kebal terhadap banyak antibiotik. Ia menjelaskan, ada penelitian di Surabaya yang menemukan bahwa penggunaan antibiotik dalam pengolahan ternak terkadang melewati batas. Ayman menjelaskan, penggunaan antibiotik yang terkadang melebihi batas dapat meninggalkan residu antibiotik di tubuh ternak.

“Iya kemungkinan, ada penelitiannya dan itu dilakukan di Indonesia di Surabaya. Tapi di luar ada ikan, ayam. Makanya di pertanian diberikan antibiotik yang kadang melebihi batas. Antibiotik ada residunya.

Ia menunjukkan bahwa residu antibiotik pada jaringan daging sapi tidak dapat dihilangkan. Jadi ketika seseorang makan daging ini, itu seperti mengabaikan antibiotik.

“Selama proses pencernaan, sisa antibiotik tidak hilang. Jadi ketika masuk ke dalam tubuh, sama seperti kita memakan antibiotik tersebut, namun dosisnya tidak jelas. Oleh karena itu, bakteri yang ada di sistem pencernaan, ketika ada antibiotik, akan hilang. beradaptasi Jadi, bakteri belajar dan melawan antibiotik “Apa yang dia sadari tanpa kita.”

Hal ini, lanjutnya, mengakibatkan residu antibiotik yang menempel di tubuh hewan tidak terbuang saat proses pemasakan. Akibatnya, ketika kita mengonsumsi makanan mentah yang terkontaminasi residu antibiotik, tanpa sadar kita juga memasukkan antibiotik ke dalam tubuh.

“Yang penting adalah residu antibiotik ini tidak hilang selama proses memasak dan tidak menimbulkan efek keracunan makanan. Tubuh kita tidak merasakan, hanya diam saja. Nantinya, bakteri yang ada di tubuhnya akan menjadi resisten. “Mungkin kita tidak akan menderita dalam waktu dekat, tapi efek jangka panjangnya berbahaya,” ujarnya.

Pria yang saat ini menjabat di bidang mikrobiologi RSCM Batavia ini menjelaskan, resistensi antibiotik bukanlah kekebalan tubuh terhadap antibiotik, melainkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik.

“Pertama perlu dipahami bahwa antibiotik itu untuk membunuh bakteri. Kalau infeksinya virus atau jamur, obatnya bukan antibiotik. Perlu juga dipahami bahwa resistensi antibiotik bukanlah resistensi tubuh kita terhadap antibiotik. ., kita tertular bakteri, bakterinya resisten, jelasnya.

Dia tidak hanya mengatakan bahwa resistensi antibiotik bisa terjadi karena kita tahu cara menggunakan antibiotik. Ia mencontohkan, masih banyak masyarakat di tanah air yang menggunakan antibiotik gratis tanpa berkonsultasi dengan dokter.

“Terkadang antibiotik dianggap obat ilahi, karena masuk angin tidak mudah mendapatkan antibiotik, apalagi bagi masyarakat yang bisa membelinya secara bebas. Walaupun antibiotik adalah obat yang manjur, namun sebaiknya diresepkan oleh dokter dengan berkonsultasi dengan dokter. bijaksana untuk menggunakannya secukupnya untuk meningkatkan resistensi antibiotik, misalnya jika pasien tidak mengalami infeksi bakteri seperti sebelumnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *