Jakarta, Titik Kumpul – Kasus perundungan atau pelecehan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Khusus (PPDS) kembali menjadi perhatian publik setelah beberapa kejadian tragis.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun menyatakan keprihatinan besar atas permasalahan ini.
Ketua Jaringan Dokter Muda IDI, Dr. Tommy Dharmawan, SpBTKV, PhD, dalam diskusi media mengungkapkan, salah satu akar permasalahannya adalah minimnya gaji peserta PPDS.
“Salah satu penyebab utamanya adalah peserta PPDS tidak digaji. Ini masalah serius di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi tersebut menimbulkan dinamika tidak sehat dalam hubungan senior-junior dan membuka peluang terjadinya perundungan.
“Peserta PPDS yang tidak menerima gaji sangat rentan. Seringkali mereka harus memenuhi tuntutan yang tidak masuk akal dari orang yang lebih tua, mulai dari meminta uang, meminta diantar kesana kemari hingga memberikan pelayanan di luar tugas akademik,” jelasnya.
Selain itu, Dr. Tommy menjelaskan, minimnya gaji membuat peserta PPDS sangat bergantung pada lansia atau lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ini sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan bullying.
“Kondisi ini jelas sangat menegangkan dan berpotensi memicu perundungan, karena para lansia merasa mempunyai kekuatan sehingga memperlakukan generasi muda sesuai keinginannya,” tegas Dr. tomi.
Bayangkan, peserta PPDS yang berusia antara 27 hingga 35 tahun harusnya mandiri secara finansial. Namun tanpa gaji, mereka terpaksa meminta bantuan kepada orang tua meski untuk hal-hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, lanjutnya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, IDI mengusulkan solusi untuk mengatasi permasalahan perundungan di lingkungan PPDS, seperti memberikan upah yang layak kepada peserta PPDS dan memperkuat pengawasan terhadap praktik pelatihan di rumah sakit.