Paris – Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah lama berupaya mengubah ajang kompetisi kelas dunia ini menjadi forum perdamaian dan netralitas. Namun, sejumlah pengamat menilai Olimpiade masih erat kaitannya dengan faktor politik dan ketegangan global.
Olimpiade Paris 2024 akan berlangsung pada saat dunia terpecah, konflik terus-menerus, persaingan kekuatan besar, dan risiko keamanan siber. Salah satunya adalah peringatan dunia maya dan kampanye disinformasi yang dilakukan Rusia selama Olimpiade.
Penyelenggara mewaspadai dampak konflik Israel-Palestina, persaingan antara negara-negara besar, dan gerakan hak-hak sosial yang meluas ke bidang olahraga, seperti yang terjadi sebelumnya dalam gugatan empat tahun sekali.
Meski dibayangi berbagai ancaman, Komite Olimpiade Paris 2024 yakin ajang yang digelar 26 Juli hingga 11 Agustus ini akan sukses.
Media asing, Channel News Asia atau CNA, memublikasikan berita yang menekankan bahwa perhelatan Olimpiade Paris 2024 bercampur dengan kepentingan politik. Jutaan mata di seluruh dunia dapat melihatnya.
Para pengamat mengatakan bahwa dinamika ini sering “digunakan” untuk menyebarkan pesan-pesan politik yang tersembunyi. Kadang-kadang muncul di trek balap, kolam renang, dan stadion.
Sebuah pameran baru di Paris bertajuk “Olimpisme: Sejarah Dunia” membawa pengunjung kembali ke 130 tahun Olimpiade melalui seni, dokumen langka, film, dan foto.
Pameran yang berlangsung hingga 8 September ini menunjukkan bagaimana Olimpiade tidak hanya merayakan prestasi olahraga tetapi juga mencerminkan perubahan sosial, politik, dan budaya yang terjadi di seluruh dunia.
Momen ikonik diabadikan dengan indah, menampilkan politik yang dipadukan dengan olahraga. Misalnya saja perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat dan berakhirnya apartheid di Afrika Selatan.
Olimpiade juga dianggap sebagai ‘arena’ munculnya banyak konflik global. Olivier Bedoin, asisten pameran di Museum Nasional Sejarah dan Imigrasi, mengungkapkan contohnya adalah boikot pada tahun 1980-an.
“Delegasi olahraga Amerika tidak pergi ke Moskow untuk memprotes invasi Soviet ke Afghanistan. Empat tahun kemudian, atlet dan atlet Rusia tidak pergi ke Olimpiade Los Angeles untuk membalas,” jelas Bedoin.
Media asing juga menilai ada tanda-tanda IOC punya agenda politiknya sendiri selama Olimpiade berlangsung. Para pengamat mengatakan geopolitik akan kembali membayangi Olimpiade tahun ini.
IOC melarang Rusia mengirimkan tim setelah negara adidaya itu menyerang Ukraina. Mereka juga melarang Belarus karena mendukung Rusia.
Namun, IOC telah memberikan kelonggaran dengan memberikan kesempatan kepada beberapa atlet individu asal Rusia dan Belarusia untuk mengikuti Olimpiade Paris 2024 di bawah bendera netral.
Perlu diketahui bahwa atlet mewakili nama pribadinya dan bukan nama sebenarnya. Mereka pergi ke perkampungan atlet di Paris untuk bertanding.
“Olimpiade adalah wahana penyampaian aspirasi gejolak dunia, gangguan geopolitik, gerakan sosial, dan perjuangan hak asasi manusia,” kata Bedoin.
Bedoin menambahkan, penyelenggaraan kompetisi di tingkat internasional seringkali bersifat politis. Peristiwa serupa terjadi di Athena pada tahun 1896 dan di Helsinki pada tahun 1952. Bedoin memperkirakan kejadian serupa bisa terulang kembali di Olimpiade Paris 2024.
Meski IOC telah menyatakan netralitas politiknya dan sangat menentang politisasi olahraga, beberapa pakar masih meragukan klaim tersebut.
“IOC sama seperti pemerintah, dunia usaha, atau media mana pun yang punya agenda politiknya sendiri?
Aubin mengungkapkan agenda politik IOC adalah menciptakan bentuk hegemoni olahraga dalam skala global melalui Olimpiade dan Paralimpiade.