Mengapa Gen Z Dianggap Sulit Diajak Kerja? Ini Penjelasan dr Elvine Gunawan!

Jakarta, Titik Kumpul – Generasi Z (Gen Z) saat ini sedang menjadi perbincangan hangat di dunia kerja. Banyak pemimpin dan perusahaan yang merasa ada perbedaan mendasar dalam etos kerja mereka dibandingkan generasi sebelumnya.

Namun, apakah Gen Z benar-benar sulit untuk diajak bekerja sama, atau justru merupakan hasil dari perspektif yang berbeda dan perubahan lingkungan?  Dokter spesialis kejiwaan sekaligus pendiri Mental Hub Indonesia, dr. Elvine Gunawan, Sp.KJ memberikan pemaparan menarik mengenai peristiwa tersebut dalam sesi wawancaranya dengan Helmy Yahya.

“Empati Anda sudah mati Pak, kalau saya bilang begitu. Orang-orang selalu mempunyai narasi bahwa Anda harus hidup dan Anda harus mengutamakan diri sendiri dalam setiap bidang. Jadi pada akhirnya, ya, dewasalah, oke? “Jika saya tidak mendapatkan sesuatu, saya tidak ingin melakukannya,” kata Dr. Elvin.

Menurutnya, hal tersebut berakar dari narasi dominan “self-surTitik Kumpull” yang menyebabkan banyak generasi muda tumbuh dengan prioritas yang lebih fokus pada kepentingan pribadi. Oleh karena itu, inisiatif untuk berkontribusi selalu kurang, karena bagi mereka bekerja hanyalah mencari uang, bukan tempat untuk berkembang.

Persepsi bahwa Gen Z “hanya bekerja demi uang” mungkin tidak sepenuhnya salah. Lingkungan kerja modern tidak memberikan ruang yang cukup untuk berkembang, kurangnya guru, dan metode dari berbagai generasi, terutama lansia yang kurang beradaptasi, menjadi kendala utama. Bagi banyak generasi Z, tempat kerja dipandang sebagai “alat”, bukan “wadah” untuk belajar.

“Itulah mengapa inisiasi adalah kematian. Ternyata hidup adalah tentangmu. Segalanya tentangmu,” kata Dr. Elvin

Pendekatan ini, meski tidak sepenuhnya salah, menyebabkan para pemimpin kesulitan melibatkan Gen Z dengan sepenuh hati. Generasi ini cenderung mencari kepuasan instan, dimana kesuksesan kecil bisa lebih mudah dicapai melalui teknologi dan informasi yang mudah diakses.

Tak hanya inisiatifnya yang terbatas, Gen Z juga mengandalkan orang tuanya dalam menyelesaikan permasalahan.

“Sakit kepala pak, kalau begitu. Kadang-kadang saya ingin mengatakan bahwa orang tua membiarkan anaknya gagal, anak-anaknya merasa gagal,” kata Dr. Elvin.

Ia mengungkapkan, orang tua seringkali melindungi anaknya dari kegagalan, sehingga tidak belajar dari pengalaman. Hal ini menyebabkan kurangnya kemampuan pemecahan masalah dan kepemimpinan di dunia kerja.

Generasi muda seringkali dikritik karena perilakunya yang dianggap kasar dan tidak sopan terhadap orang yang lebih tua. Menurut dr. Elvine, permasalahannya bukan hanya terjadi pada generasi Z, tapi juga pada pemimpin yang belum siap menghadapi perubahan zaman.

Pemimpin dari generasi tua (boomer) terkadang menggunakan cara-cara yang tidak berhubungan dengan kondisi saat ini, seperti cara komunikasi yang kurang inklusif dan sulit beradaptasi dengan perubahan digital.

“Bos tidak bisa inklusif pak, dia tidak bisa menjadi pemimpin yang inklusif. Dia tidak punya telinga untuk mendengar apa yang terjadi dan jika ada masalah,” kata Dr. Elvin.

Menurutnya, pemimpin yang tidak terbuka dan tidak mendengarkan masukan dari pegawai muda hanya akan memperlebar kesenjangan generasi.

Terlebih lagi, Gen Z tumbuh di tengah revolusi digital yang secara tidak langsung membentuk cara berpikir mereka. Bagi mereka, belajar mandiri melalui platform seperti YouTube atau mencari informasi dari internet adalah hal biasa.

Generasi ini mampu berpikir kritis dan mencari jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan. Namun, para pemimpin generasi tua sering kali merasa terancam dengan pendekatan ini dan berusaha menerapkan cara kerja yang lebih “tradisional”.

“Kalau soal IQ, bapak lebih pintar lagi pak, karena di perut ibunya dia sudah minum omega3, kita akan makan ikan gabus kalau sudah ada ya,” kata dr. Elvine sambil membuat lelucon.

Ia menegaskan, Gen Z lebih unggul secara intelektual karena aksesnya terhadap informasi dan pendidikan sejak dini. Namun, tanpa komunikasi yang baik, keunggulan ini bisa menjadi sumber konflik.

Pentingnya komunikasi dan kerjasama antar generasi menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini. “Saya belajar komunikasi dan kerjasama,” tegas dr. Elvin.

Ia menegaskan, setiap generasi mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Generasi lanjut usia memiliki pengalaman, jaringan, dan kebijaksanaan, sedangkan Gen Z lebih inovatif dan kreatif di era digital ini. Kedua belah pihak harus saling menghargai kelebihan masing-masing dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

Di era dimana setiap generasi mempunyai cara masing-masing dalam menghadapi dunia, kerja sama dan komunikasi yang baik menjadi elemen utama untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis. Pendekatan inklusif dan keterbukaan untuk mendengarkan keinginan semua pihak merupakan langkah awal untuk menjembatani perbedaan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *