JAKARTA – Maternal shaming menjadi salah satu penyebab para ibu di Indonesia menghadapi masalah mental. Apalagi bagi mereka yang baru pertama kali mempunyai anak dan baru memiliki satu anak, maka gaya pengasuhan mereka akan menjadi hal yang tidak bisa lepas dari perhatian orang-orang disekitarnya, terutama keluarganya.
Mother-shaming adalah suatu kondisi yang mengacu pada mengkritik, menghakimi, atau meremehkan seorang ibu atas keputusan, kemampuan, dan tindakan lainnya dalam mengasuh anak (mengasuh anak). Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Health Collaborating Center (HCC) mengungkapkan tingginya tingkat rasa malu terhadap ibu di Indonesia, sehingga menyoroti perlunya kesadaran dan tindakan di masyarakat untuk mengatasi masalah ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 7 dari 10 ibu di Indonesia yang diwakili oleh responden penelitian ini pernah mengalami beberapa bentuk mother malu yang berdampak pada kesehatan mentalnya, dan mempunyai dampak yang signifikan terhadap kesehatan dan emosional. Penelitian ini, menurut ibu responden, sebenarnya didapat dari “hati yaitu keluarga, sanak saudara dan lingkungan tempat tinggalnya”. Hal ini tentunya merupakan temuan yang perlu dikaji lebih sistematis, karena keluarga harus menjadi sistem pendukung utama yang melindungi ibu dari rasa malu,” kata peneliti utama sekaligus Ketua HCC, Dr., MKK, FRSPH dalam siaran persnya, Senin. 1 Juli 2024.
Kemungkinan besar sebagian besar ibu yang mengalami mother-shaming terkena dampaknya, sehingga secara rinci lebih dari 50 persen orang tua dan pola asuh terpaksa berubah demi menghindari kritik dari orang-orang disekitarnya ibu merasa malu. Faktanya, hanya 23 persen ibu yang merespons mengaku berani melawan dan menghindari ejekan ibunya.
Menurut Ray, keadaan tersebut disebabkan oleh minimnya peran support system, yaitu keluarga yang seharusnya melindungi mereka. Akibatnya, selain tidak mampu melawan dan menghindarinya, para ibu yang mengalami mother shaming juga rentan terhadap kritik tidak terstruktur tersebut dan mengorbankan pola asuh atau gaya pengasuhan yang mereka lakukan demi kebaikan.
Untuk mengatasinya, Ray menyarankan untuk mencari bantuan pihak ketiga, yaitu psikolog atau konselor yang ahli di bidangnya. HCC juga mengingatkan pemerintah untuk memperluas cakupan konselor parenting bahkan psikolog di puskesmas secara lebih adil. Jika memungkinkan, tingkatkan peran petugas posendo dan tim dukungan keluarga agar memiliki kapasitas sebagai penasihat orang tua.
“Para ibu perlu tahu di mana batasannya, mereka bisa mendengarkan, tetapi jika mereka merasa tidak nyaman, tetapkan batasan dan kembali ke keluarga. Jika keluarga tidak mendukung, mereka harus pergi ke profesional. Sayangnya, kekurangan ini tenaga profesional masih sangat terbatas sehingga belum bisa membantu sama sekali,” jelasnya.