Titik Kumpul, Jakarta – Hari ini, 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati janji pemuda. Momen bersejarah ini menandai titik balik pergerakan nasional dimana pemuda dari berbagai daerah dan asal bersatu dalam tujuan bersama yaitu kemerdekaan.
Sumpah Pemuda merupakan peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan negara hasil Kongres Pemuda Kedua yang dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 1928.
Namun di balik tekad tersebut terdapat nilai-nilai penting yang menjadi landasan persatuan, salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar alat untuk menimba ilmu, namun juga alat agar generasi muda sadar, kritis, dan siap membangun negara yang bebas dari penindasan.
Ibrahim Datuk Tan Melaka disebut sebagai Bapak Republik namun menjadi salah satu Pahlawan Nasional yang terlupakan.
Tan Malaka mempunyai peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan ia menuliskan gagasan Negara Republik Indonesia dalam bukunya Naar de Republiek yang terbit pada tahun 1925. Malaka juga menjadi inspirasi bagi Soekarno dan Hatta.
Lahir pada tahun 1897 di desa Pandan Gadang di Limopuluh Koto, Payakumbuh, Sumatera Barat, ia dilahirkan dalam keluarga terpandang di desa tersebut.
Menurut biografi Tan Malaka dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ia bersekolah di Sekolah Tinggi Keguruan Negeri, Fort de Kock (Bukit Tinggi).
Tan Malaka kemudian melanjutkan pendidikannya di Belanda, di sana ia diperkenalkan dengan gagasan sosialisme-komunisme dan kapitalisme-demokrasi. Ia membaca beberapa surat kabar, termasuk De Telegraph, yang merupakan surat kabar kapitalis-demokratis yang kritis terhadap Jerman.
Tan Malaka juga membaca Het Volk, surat kabar Partai Sosial Demokrat Belanda yang sosialis-komunis. Membaca artikel-artikel tersebut, ia merasa terdorong untuk mengakui ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, yang akhirnya memunculkan ketertarikannya pada ide-ide sosialisme dan komunisme.
Tan Malaka adalah sosok yang paham bahwa senjata utama perjuangan kemerdekaan adalah pendidikan. Di tengah masa kurungan dan isolasi, ia mendirikan sekolah tempat ia mendidik generasi muda Indonesia untuk berpikir mandiri dan berani mengkritik ketidakadilan.
Bagi Tan Malaka, pendidikan bukan sekadar pengajaran di kelas, melainkan upaya memerdekakan diri dari penjajahan dalam segala bentuk. Ia percaya bahwa generasi muda yang terpelajar dan sadar hak dapat membangkitkan cita-cita nasionalnya dan mempersiapkan diri untuk perjuangan kemerdekaan.
Tan Malaka memulai banyak gerakan untuk melindungi dan mengangkat martabat rakyatnya yang tertindas. Sebagai seorang guru, ia berusaha mendidik masyarakat.
Maka pada tahun 1920-an, ia membangun sekolah untuk anak-anak anggota Sarekat Islam. Ruang pertemuan Sarekat Islam disulapnya menjadi sekolah lain yang banyak dikunjungi orang untuk kegiatan belajar mengajar.
Tan Malaka menghimbau generasi muda untuk merebut kemerdekaan dari penjajah seperti Jepang, kemerdekaan tidak boleh diharapkan atau diberikan kepada penjajah Jepang.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Tan Malaka bertemu dengan Soekarni dan Chairul Saleh dan berencana mendukung mereka dalam memperoleh kemerdekaan, dan dua hari kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Deklarasi Indonesia didengarkan.
Meski tidak ada intervensi langsung darinya, kemerdekaan diilhami oleh Tan Malaka dan dilaksanakan melalui tangan-tangan muda Indonesia.
Namun ketika Belanda menyerang Kediri pada tahun 1949, Tan Malaka bertempur bersama banyak gerilyawan lainnya di dekat Sungai Brantas di desa Gringing. Ia meninggal di Kediri pada tanggal 21 Februari 1949 dalam pertempuran di tangan tentara.
Tan Malaka meninggal dengan meninggalkan banyak karya indah. Karya-karya tersebut menjadi referensi bagi masyarakat luas dalam memahami makna perjuangan.
Dari tangan Tan Malaka lahirlah beberapa buku yang menjadi bagian dari semangat perjuangan meringankan gejala sosial saat ini. Tiga di antaranya: Madilog (ditulis tahun 1942), Untuk Kemerdekaan 100 persen, Herpolek, dan otobiografinya Dari Penjara ke Penjara.
Sayangnya, Tan Malaka tak setenar Sukarno dan Mohammad Hatta, yang diduga pejuang kemerdekaan Indonesia. Sebab sejak masa pemerintahan “Orde Baru” Soeharto berkuasa, nama Tan Malaka dicap komunis dan dilupakan sebagai pahlawan nasional.