Semarang – Pengobatan tuberkulosis resistan obat (TB-DR) seringkali menghadapi kendala karena pasien kesulitan menjaga kepatuhan pengobatan. Beberapa penderita tuberkulosis bahkan menghentikan pengobatan karena durasinya yang sangat lama, yakni bisa mencapai 20-24 bulan.
Namun perkembangan terkini pengobatan tuberkulosis dengan penggunaan obat jenis BPaL (bedaquiline, pretomanide dan linezolid) yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan harapan baru. Obat ini memungkinkan pengobatan yang lebih singkat dari sebelumnya.
Dalam acara “NGOPI (Obrolan Pagi) Kesehatan” di radio Gajahmada FM, dr. Dinda Saraswati Ratnanningsih dari RSUP dr. Cariadi, Semarang menjelaskan penggunaan BPaL memberikan perbedaan yang signifikan dalam pengobatan TB RO. Durasi pengobatan yang lebih singkat diharapkan dapat meningkatkan motivasi pasien untuk patuh berobat.
Yayasan Kesehatan Mentari Indonesia telah berperan dalam menginisiasi dan mengimplementasikan penggunaan BPaL pada pasien TBC di Jawa Tengah. Mereka bekerja sama dengan Dinas Kesehatan di berbagai daerah untuk menyaring pasien yang diduga TBC.
MSI Foundation juga terlibat aktif dalam proses pemantauan dan pendampingan pengobatan, serta bekerja sama dengan Yayasan Bakri Center untuk program interdisipliner dalam memerangi tuberkulosis.
Menurut Ketua Yayasan Mentari Sehat Indonesia, dr. Supriyanto, Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi kedua di dunia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengambil langkah serius untuk mempercepat pemberantasan tuberkulosis pada tahun 2030.
“Sebagai peringkat kedua dunia, Indonesia sudah seharusnya menyikapi peningkatan penderita TBC ini dengan hal yang positif, karena tanpa mendeteksi penyakitnya, pengobatan TBC tidak akan berhasil,” kata dr. Supriyanto
Salah satu langkahnya adalah dengan menyebarkan informasi mengenai TBC melalui media sosial resmi agar masyarakat lebih memahami pentingnya pencegahan dan pengobatan TBC.
Tantangan terbesar dalam upaya pemberantasan TBC adalah stigma negatif yang melekat pada penyakit tersebut. Masyarakat sering kali takut untuk melakukan tes ketika mereka mengalami gejala tuberkulosis. Oleh karena itu, pendidikan masyarakat tentang TBC merupakan kunci untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pencegahan dan pengobatan.
“Kunci untuk mengurangi stigma tersebut adalah masyarakat harus memiliki informasi yang cukup tentang TBC. Kami melihat informasi tentang TBC saat ini sangat terbatas, bahkan tergantung momen saat ini, bisa setahun sekali,” tutupnya.