Jakarta – PTIQ Universitas Jakarta menyelenggarakan seminar internasional dalam rangkaian 1st PTIQ International Quran Studies Conference Series di Auditorium Universitas PTIQ Jakarta. Acara tersebut diiringi dengan diskusi yang melibatkan berbagai ilmuwan dan pakar.
Acara ini disiarkan melalui Youtube Live Streaming PTIQ TW dengan lebih dari 500 peserta melalui Zoom Meeting dan ditonton hingga 1.400 orang.
Ketua Dewan Abd Muid Nawawi dalam sambutannya mengatakan: “Acara ini diadakan untuk membuktikan bahwa Universitas PTIQ Jakarta adalah pelindung Al-Qur’an.
Acara ini diselenggarakan oleh Prof. Dr. M. Darwis Hude, Sekolah Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta. Dalam sambutannya, Darvis Hude menekankan pentingnya perbedaan perspektif dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an.
“Jangan heran jika banyak perbedaan pendapat mengenai tradisi penerjemahan Al-Qur’an,” kata Darvis.
Moderator acara, Zainal Abidin, mahasiswa pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta, menjelaskan aturan debat. Masing-masing narasumber diberi waktu 30 menit untuk presentasi, kemudian masing-masing narasumber diberi waktu 10 menit untuk berdebat dan memberikan tanggapan.
Sumber pertama, Prof. Dr. Munim Sirri, seorang profesor studi Islam di Universitas Notre Dame Amerika Serikat, mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan hanya sebuah pena, tetapi Nabi kita juga sebuah pena.
“Allatagala hanya mengungkapkan maknanya, tapi secara bahasa Nabi kita membuat legenda. “Kita melewatkan pembicaraan intelektual yang tidak ingin melihat kompleksitas,” kata Moon
Sumber kedua adalah Prof. Mohammad Nuruddin, direktur Pondok Pesantren Darul Archam (Indonesia). Dr. Rahasiaku. Merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an dan pendapat para ulama, Prof. Dr. Munim Sirri tidak benar.
Prof. Tidak ada dalil dari Al-Qur’an yang digunakan oleh Dr. Rahasiaku. “Kemudian saya kirimkan ayat Alquran yang mengancam mereka yang menyebutnya sebagai bahasa rakyat,” ujarnya.
Orang ketiga yang menjadi narasumber adalah Dr. Brunei Darussalam, Kolej Universiti Pendidikan Ugama Seri Begawan, Profesor Mikdar Rusdi sependapat dengan Mohamed Nooruddin. Gurhana menambahkan, pembelajaran memahami harus dikaitkan dengan perkembangan.
Sebagai tanggapan Prof. Dr. Mun’im Sirri mengkritik pandangan Muhammad Nuruddin.
“Kesalahan Nuruddin disebabkan oleh pandangan salah, karena ia meyakini hanya memikirkan ‘atau’ saja tanpa mempertimbangkan pandangan alternatif. Selain itu, ayat tentang bahaya “neraka gula” merupakan perkataan banyak penganut atheis yang menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak berdasarkan sabda dan wahyu Nabi. , dan saya serta para ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamulla, namun Rasulullah bersabda, “Dia juga berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamulla yang berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh banyak dewa.”
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Nuruddin kembali menegaskan pendiriannya. “Saya belajar logika dan menyadari bahwa tidak ada kesalahan. Sebaliknya, ada hukum kontradiksi yang menyatakan bahwa dua hal yang berlawanan tidak dapat digabungkan. Misalnya bisa saja “ini PTIQ dan ini bukan PTIQ dan opsi ketiga”. Oleh karena itu, kalau ada yang namanya PTIQ, diklaim bukan PTIQ.
Workshop diakhiri dengan sesi tanya jawab yang sangat dinamis, peserta menunjukkan antusiasme dan ketertarikan yang besar terhadap topik yang dibahas. Diskusi paralel setelah workshop utama juga berjalan sukses dan memperkaya pemahaman peserta terhadap kajian Al-Qur’an.
Kami berharap acara ini semakin memperkuat peran Universitas PTIQ Jakarta sebagai pusat kajian Al-Quran di dunia.