JAKARTA – Istilah mom-shaming akhir-akhir ini menjadi populer dan akrab di telinga masyarakat Indonesia. Merupakan suatu kondisi yang melibatkan perilaku mengkritik, menghakimi, atau mempermalukan seorang ibu atas keputusan, keterampilan, dan hal-hal lain yang dilakukannya dalam membesarkan anak (parenting).
Sebut saja YouTuber Ria Ricis yang gaya pengasuhannya terhadap putrinya, Moana, kerap dikritik. Di usianya yang kurang dari 2 tahun, Moana sudah diajak melakukan olahraga ekstrim seperti mengendarai jet ski tanpa pengamanan yang memadai. Moana juga sering terjatuh saat berjalan, tersandung, bahkan terjatuh ke rerumputan sehingga ibunya bisa meninggalkannya karena mengetahui putrinya baik-baik saja. Gara-gara itu, Ria Ricis banyak dikecam netizen. Simak selengkapnya, yuk!
Berdasarkan hasil riset Health Collaborative Center yang dilakukan terhadap 892 responden ibu di seluruh Indonesia, memang benar bahwa 72 persen atau 7 dari 10 ibu di tanah air pernah mengalami penghinaan terhadap ibu, mulai dari yang jarang hingga hampir setiap hari.
Hingga 60 persen dari jumlah tersebut tidak berani melawan rasa malu yang mereka terima dan secara aktif mengubah gaya pengasuhan mereka berdasarkan kritik yang mereka terima. Alasan utamanya adalah kurangnya dukungan dari orang yang Anda cintai. Sebab keluarga adalah pelaku utama mom shaming.
“Saya tidak berani melawan karena tidak ada dukungan dari sistem mainstream, terhadap tindakan mempermalukan ibu oleh suami, orang tua dan keluarga sekitar. Sulit sekali karena dampaknya tidak hanya pada pola asuh, tetapi juga pada rumah tangga dan keluarga. ” harmoni, itu hal terbesar. Penyelidik Utama dan Ketua HCC, Dr. kata Dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, pada jumpa pers di Jakarta, Senin 1 Juli 2024.
Selain harus menghadapi kritik dari orang-orang terdekatnya, para ibu yang menghadapi rasa malu dari orang-orang terdekatnya juga tidak memiliki akses terhadap konsultasi profesional. Terbatasnya jumlah psikolog menjadi salah satu alasan mengapa para ibu di Indonesia memilih untuk mengikuti aturan di rumah yang mengubah gaya pengasuhan mereka sendiri.
“Kurangnya akses terhadap konselor atau psikolog. Seharusnya bantuan pihak ketiga ini berdampak besar, namun aksesnya sangat terbatas. Terutama psikolog dan konselor pendidikan. Jadi dua faktor inilah yang menjadi faktor penentu mengapa para ibu tidak berani membela diri dan tidak minta tolong,” jelasnya.